RSS

Senin, 25 Januari 2010

Anak Jakarta

Kampung kami kecil kawan, tidaklah lebih besar dari luasan tanah empat hektar. Tak lebih dari 50 rumah yang saling berdekatan. Tak lebih dari 300 orang menghuni kampung kami. Karena itulah kami saling kenal mengenal. Dari yang kepalanya sudah memutih sampai rambutnya yang belum tumbuh. Kalau kawan ingin, kami bisa sebutkan satu persatu namanya pada kawan. Tapi tak usahlah, itu buang waktu saja.

Yang ingin kami ceritakan, kawan, bukan semua orang di kampung kami itu. Hanya seorang saja. Anak-anak malah. Ya, seorang anak di kampung kami yang tidaklah istimewa juga. Hanya anak yang suka memakai celana pendek dan bermigrasi di sepanjang kampung. Ketika belum bisa naik sepeda, berlarilah dia berotasi sekeliling kampung. Kalau sudah, bersepedalah ia.

Anak ini biasa, seperti anak lain. Tapi jadi lain kalau misalkan tuan menanyakan tempat padanya. Seperti pertanyaan “Dari mana?”, “Mau kemana?”, atau “Rumah si anu dimana?”. Karena semua pertanyaan itu akan dijawab singkat, meyakinkan, disertai intonasi yang menyebalkan olehnya. Dia akan jawab dnegan satu kata “Jakarta!”. Sungguh terbayang menyebalkan bukan?

“Dari mana kamu, adek kecil?” … “Jakarta!”” (bahkan tanpa melihat sedikitpun pada yang ditanya).

Ketika mau berangkat ke teka misalnya (ketika dia sudah masuk taman kanak-kanak), tuan Tanya dia mau kemana.. tetap saja akan dijawab “Jakarta!”

Awalnya memang menyenangkan dan jenaka, tapi setelah itu menyebalkan. Karena kami tahu anak ini bukan idiot.

Kami sebagai orang kampung tersebut tidak tahu penyebab ke-jakarta-jakarta-annya anak ini. Sungguh tidak tahu. Dia bukan dari keluarga perantau yang punya sanak keluarga di Jakarta. Sama sekali tidak. Orang tuanya Cuma merantau seratus kilometer ke kota kami yang kecil ini. Mungkin pengaruh televisi mungkin, tapi sepertinya tidak juga. Anak ini hobinya nonton berita, terutama perang. Dan semua yang ia tonton akan diceritakan pada setiap orang yang dating kerumahnya. “Di irak, Om, begini….”, “ditembak Om, gini…” blablabla… tapi sungguh, tak pernah ia menceritakan tentang Jakarta. Atau dari teman-kah? Siapa? Tidak ada yang tahu pasti. Jakarta terlalu jauh bagi kami, bagi keluarga anak itu juga.

Sampai pada akhirnya kami bosan bertanya, tidak pernah lagi kami bertanya tempat padanya. Dan dia juga terlihat menikmati untuk tidak ditanya apa-apa. Kami kehilangan kata sapaan padanya. Misalkan biasanya kami menyapa dengan kata Halo diikuti dengan dari mana atau mau kemana, maka pertanyaan itu tidak bisa diajukan padanya. Orang kampung kami bingung. Bagaimana cara menyapa anak kecil ini. Maka sebagian besar beralih menanyakan keadaan orang tuanya.

Begitulah yang terjadi pada hidup anak itu.

Sampai pada suatu waktu, kami dikejutkan oleh berita. Anak itu benar-benar ke Jakarta. Mengikuti perlombaan kelas anak kecil sampai menjadi wakil provinsi kami ketingkat nasional. Sungguh baik prestasinya. Terkejut, karena dia benar-benar ke Jakarta, kota yang selama ini dibunyi-bunyikan mulutnya itu. Dari umur 4 tahun dia bicara tentang Jakarta terus, dan di umur 5 tahun dia benar-benar Jakarta. Kami tidak tahu selama ini anak ini hanya mengguyon ataukah dia benar-benar percaya akan pergi ke Jakarta, meninggalkan kampung kami yang kecil ini. Luar biasa! Dengan bilang Jakarta-jakarta saja dia bisa benar-benar ke Jakarta.

Namun ada yang berubah dari anak itu selepas kembali dari Jakarta. Dia tak pernah lagi bicara “Jakarta!”, dia lebih kelihatan rendah hati. Ketika orang bertanya, dia akan menjawab secara jujur. Hiburan kami hilang. Dia jadi tidak seperti biasanya. Mungkin karena ia telah melihat bagaimana Jakarta itu. Konon Ibu kota yang ganas itu. Tapi suatu kali, ada yang bertanya padanya, “Adek kecil kan sudah pernah ke Jakarta, mau ke Jakarta lagi tidak? “ di luar dugaan anak itu mengangguk mantap. “Nanti pas sudah besar saja” katanya. Kami makin tidak mengerti.

Sekarang anak itu sudah besar, dan percaya atau tidak, dia benar-benar tinggal di Jakarta. Kemarin dia pulang, ceplas ceplos layak biasa, jawab pertanyaan seenaknya. Tanyalah “Dari mana?” akan dijawab “dari tadi”, “mau kemana” akan dijawab “kesana”, dsb. sambil tertawa-tawa. cuma sekali sepengatahuan saya dia menjawab pertanyaan kami dengan serius. Waktu itu saya sendiri yang bertanya.

“Mau kemana, Dek?”

“Belanda!” jawabnya cuek.

Hah.! Mukanya persis seperti anak kecil yang kukenal mau ke Jakarta dulu. Aku kaget, Mau ke Belanda pula anak ini. Negeri penjajah itu. Berapa kali nyambung bis kesana, pikirku. Lomba apa pula yang harus ke Bulando? Lomba jadi penjajah?

hmp

Tidak ada komentar:

Posting Komentar