RSS

Selasa, 26 Januari 2010

Cerpen si Pandir: Kasihan...

“Kasihan”

H.M.P


Wanita itu telah pergi dari kedai. Nurdin merasai kini lutut lenyai dan tiada bertenaga. Meski dipaksakannya juga tegak, kedua tungkainya saat itu tidak bisa menopang badan. Jantungnya masih berdebar keras, belum lagi matanya yang memerah. Diantara hembusan nafas yang kencang, tergesa ia ambil rokok yang tadi dimatikan. Dalam hitungan detik mulutnya dihiasi sebatang rokok yang ia gigit kencang. Tak berapa lama, batangan laknat itu menyala. Asapnya menari bak menghibur. Namun, itu ternyata tak laku oleh si muka suram. Asap itu dianggap sepi, terlihat kegelisahan tak juga lepas dari mukanya. Gas bau itu pun mahfum, sahabatnya itu baru saja mengalami serangan psikologis yang hebat.

Cintanya baru saja ditolak. Ditiupkannya asap rokok keras-keras. Ia kesal. Kesal atas semuanya. Kesal karena ingat bahwa hari ini dia menunggu wanita itu untuk bertemu sampai 3,5 jam. Nurdin tahu menunggu itu membosankan. Tapi sungguh baru tahu ia kalau menunggu itu bisa demikian menyiksa. Dan hasil penungguannya yang menyiksa itu juga tidak menyenangkan hati. Nurdin mengasihani dirinya. Hatinya luka. Patah sudah!

Kencang kemudian Nurdin meminum kopi yang tadi ia pesan. Masuk seperti air kedalam selang, seolah tiada berlidah lagi di rongga itu. Tidak dirasainya cairan itu. Ditelannya seolah menelan semua kekecewaan yang baru saja dialami. Kalaulah diperturutkannya hati mungkin dia mau rasanya berteriak sekuat hati. Atau menumbuk meja ini dengan keras padahal tidak mengobat apapun. Mengejutkan semua orang yang ada di kedai itu. Malu tidak ia hitung lagi, sungguh tindakan yang telah ia lakukan beberapa menit yang lalu lebih memalukan bagi dirinya. Ia mengemis. mengemis tentang apa yang bukan jadi haknya. Minta dikasihani. Tapi mulutnya selama ini selalu berucap “Lelaki, khususnya Aku, paling benci dikasihani!”. Naif. Munafik. Atau adakah kata yang lebih buruk?

“Kenapa kau diam? Tidakkah ada lagi yang disampaikan?’ tanya wanita pujaannya itu.

“ Tidak…. Hanya Aku baru sadar kau baru saja menghancurkan aku”

“Maafkan Di, Sungguh menyesal!” wanita itu langsung merapatkan tangannya memohon maaf.

Seketika Nurdin terenyuh, malu, dan kecewa pada dirinya. Ucapannya benar, lukanya memang teramat dalam sehingga tak mampu lagi diperdalam. Namun kalimat terakhir yang ia ucapkan menurut Nurdin sungguh tak pantas. Ia minta dikasihani. Dengan begitu ia telah menjadi budak. Telah menjadi tak berharga dalam pikirnya. Dalam trackrecord-nya tak pernah begitu. Ia mengatakan yang hitam itu hitam dan putih itu putih. Tak mau dia tunduk didepan orang minta dikasihani. Tidak juga untuk hidupnya. Tidak juga ideologinya, serta tidak juga agamanya. Tapi kini ia menjadi budak. Budak Cinta. Suatu yang sebenarnya wajar. Tapi tidak bagi Nurdin, mukanya kini tercoreng. Tercoreng oleh air keras. Rasanya melepuh kulit mukanya sehingga tak tau kemana mau dia sembunyikan muka itu. Malu; muka itu kemaluannya. Musti ditutupi.

Tangan diatas lebih baik baik dari tangan dibawah. Ungkapan itu terpatri dihatinya sejak kecil. Paling anti keluarganya minta kasihan orang. Daripada minta kasihan orang baik makan ubi yang direbus saja. Atau beras pembagian pegawai negeri yang dijual lebih mural di pasar. “Biar mati dikalang tanah dari pada hidup bersandar ke bahu orang”, kata Ayahnya dulu. Manusia hidup dengan usahanya sendiri. Rezeki itu datang karena dicari sendiri. Itu dipahami betul oleh Nurdin.

Kalaulah ia orang yang meminta, tentu tidak ada bedanya ia dengan masyarakat lain di negeri ini. Juga pemerintah yang selalu ia tulis sebagai “sumber kebodohan” di surat kabar tempat ia bekerja. Mereka membagi-bagikan uang, mengajarkan masyarakat untuk minta dikasihani.

“Hahahah……Subsidi orang katanya” tawa Nurdin keras sendirian. Menarik muka beberapa orang di sekitarnya kearahnya. Tapi sejenak kembali ke kegiatan semula. Nurdin tetap tertawa-tertawa kecil.

Dia rogoh tasnya dan mengeluarkan buku catatan kecil. Terpikir untuk menuliskan sesuatu, mungkin untuk tulisan dia berikutnya. Sebagai penulis dia terbiasa menuliskan apa yang terpikir seketika ia memikirkannya. Namun tak lama ia menulis, ditaroh kembali penanya. Mukanya kembali suram. Hilang tawanya tadi.

“Munafik…” katanya pelan sekali

Tak pantas aku menuliskan ini, sementara aku juga seorang peminta kasihan orang. Begitu kata hatinya. Persis seperti aparat pemerintah yang ketauan korupsi kemarin. Padahal ia berposisi sebagai pemberantas korupsi. Orang yang selama ini dikagumi Nurdin dari tulisan-tulisannya yang penuh kebenaran. Seperti wahyu Tuhan. Tidak bisa dipercaya manusia. Demi uang mereka bermukakan kebaikan dan idealisme tapi di dalam mengharapkan belas kasihan berupa pemberian dan memakan harta yang bukan hak-nya.

“Demi uang, uang, dan uang..” ucap Nurdin berulang kemudian.

Sesaat kemudian Nurdin terbangkit kesadaran dirinya. Dikeluarkannya dompet. Dia sebarkan semua isi termasuk uangnya di meja. Ia berpikir. Dari mana ia mendapatkan uang-uang ini? Honor menulis, gajinya sebagai wartawan, dan beberapa proyek sampingan lain. Semuanya halal. Tapi semuanya upah. Nurdin merasa ia “meminta” uang itu atas kerjanya. Padahal niatnya untuk sumbangsih pada masyarakat. Nurdin semakin muram, ia merasa semakin munafik.

Dilihat juga oleh Nurdin kartu-kartunya. Terselip kartu mahasiswanya dulu. Nurdin tersenyum. Teringat masa yang indah di perkuliahannya dulu. Semasa aktivis pers kampus dulu dia sudah menulis berdasar idealismenya seperti sekarang. Tapi tak pernah mengharapkan uang. Semua dilakukan atas dasar kesenangan tulisannya dibaca orang. Terpikir juga olehnya, dari mana ia mendapatkan uang dulu ketika kuliah? Kiriman orang tua, bekerja proyek, dan juga beasiswa. Sontak Nurdin kaget, sekarang ia merasa dialah peminta sejati seumur-umur. Ia merasa lebih bodoh dari pemerintah,dari aparat anti korupsi itu. Toh mereka kaya dari meminta-minta, sementara ia? Pikirannya kalut.

“Pinjam pisau sebentar, bolehkah?” tanyanya ramah pada pelayan kedai itu.

Sudah biasa bagi pelayan itu orang meminta pisau. Biasanya untuk kue ulang tahun dan sebangsanya yang memang tidak dilarang dibawa pengunjung di kedai itu.

Tak lama kemudian pelayan itu kembali tapi segera kembali. Nurdin meminta pisau yang lebih tajam. Pelayan itu mau saja. Toh tak ada ruginya.

Baru semuanya di kedai terkejut ketika tersembur carian merah menyala-nyala. Nurdin tergelak-gelak. Dinikmatinya setiap tetes darah yang keluar dari pergelangan nadinya.

“Keluarlah kau semua! Hasil meminta-minta” teriaknya keras-keras.

Semua berteriak histeris. Para wanita menutup dan memalingkan muka. Ngeri. Para lelaki tak kalah kejutnya, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Tangan Nurdin yang satunya masih memegang pisau. Mereka juga ngeri.

Tak puas, Nurdin mengibas-ngibaskan tangannya itu hingga terpancarlah darah itu kesemua arah. Ia mengakak makin keras. Ia berlari keluar kedai itu sempoyongan sampai kepinggir jalan. Pucat mukanya terlihat jelas di terang matahari. Disaat itu tenaganya habis. Belum mati dia terjerembab ke jalan. Langsung disambut mobil. Badannya tercerai berai. Tapi kepalanya tertawa. Masih.

Ramai orang membicarakan Nurdin. Banyak yang bersimpati banyak pula yang mengutuk. Bersimpati karena mengasihani; sesuatu entitas rasa yang dibenci oleh Nurdin. Dikasihani. yang mengutuk pun tak kalah banyak. Nurdin namanya di pisah; Naar dan Diin (Dinul). Naar untuk Neraka dan Din untuk Agama. Tindakan Nurdin adalah Umpan Neraka. Kasus Nurdin diajarkan sebagai kesesatan pada anak mereka. Termasuk di Televisi dalam acara criminal sebagai ketidaksanggupan dalam hidup. Nurdin di eksploitasi sebagai kasus politik sebagai ketidaksanggupan mengatasi biaya hidup.

Sementara itu dikubur sana, Nurdin sedang terjaga. Baru sadar ia telah mati.

Ketika malaikat menemuinya, Nurdin mempersiapkan segala jawaban dengan baik. Man rabbuka dan lain-lain telah dia hapalkan jawabnya.Meskipun bukan orang yang berjenggot panjang, Nurdin cukup ahli agama. Ia juara MTQ di kotanya.

Nurdin pede.

Seketika malaikat datang. Tapi tak satu pun pertanyaan keluar dari sang malaikat. Nurdin langsung dipecut, siksa kubur.

Lalu Nurdin yang akhirnya bertanya, “tidakkah aku ditanya dulu?”

Malaikat tidak langsung menjawab melainkan kembali memecut. Ctarr… “Kau membunuh diri! umpan Neraka!”

Nurdin kesakitan dan menangis. “Tidak ada maksudku membunuh diri; kusucikan diriku dari ketololan dunia” jelasnya.

Malaikat menjawab “sudah kuketahui semuanya!”

Ctarr.. malaikat meneruskan siksaannya.

Diantara tangisnya ia meminta: “Kasihanilah saya….”

Malaikat tersenyum “Akhirnya kau minta dikasihani lagi. Kenapa tidak dari dulu kau makan egomu bulat-bulat? Sehingga tidak perlu menemui ajal”

Ctaar..!!! Siksaan itu berlanjut.

Depok, 18 Juni 2008

2 komentar:

  1. Lah lamo ang ndak nulis kaliang, tapi koq isinyo carito lamo sae.....

    BalasHapus
  2. lah ado carito baru ciek. beko den post.

    BalasHapus