RSS

Senin, 25 Januari 2010

Malin Kundang kata Mak Karam

malin kundang versi asli Mak Karam

si Malin kecil duduk bersimpuh di sudut ruangan. tak berani menangis, hanya tinggal sedu sedan yang tak sanggup ia hentikan. ia merasa pusing, karena terlalu banyak air mata yang keluar. Mandehnya seakan tak letih-letih memukulnya dari tadi. sebatang rotan sebesar empu jari tertegak disebelahnya. Mandeh meletakkannya disitu, di tempat yang mudah diraih jika ia merasa perlu untuk memarahi anaknya lagi. Mandeh kecewa, karena anaknya tak mau menurut. ia merasa, anak ini perlu di pukul untuk diajari. dan mungkin, itu satu-satunya cara.

tak peduli dimana, di depan keluarga lain, di depan tetangga, malin selalu dipukuli jika salah. Ibunya yakin metode ini merupakan cara yang paling tepat untuk mengajar. dan ia meyakinkan teman-temannya untuk meyakini hal yang sama.

"Dengan begitu dia akan jadi disiplin", katanya pada Mak Karam
"Kalau kau tak percaya lihatlah nanti kalau dia sukses ketika dewasa" lanjutnya.

Mak Karam mengangguk, tak sepenuhnya setuju. tapi dia selalu memperhatikan keluarga ini. Mak karam memaklumi betapa Mandeh Malin sangat menggantungkan harapannya ke Malin. untuk mengeluarkannya dari kesedihan dunia tanpa harta. tapi disisi lain ia juga kasihan melihat anak sekecil itu. makanya setiap kali Mak Karam datang, ia selalu mengusap-usap kepala malin. pertanda sayang sembari berdo'a, "Tuhan berikanlah kesabaran pada anak sekecil ini".

begitulah cerita tentang si Malin waktu kecil yang kudengar dari Mak Karam tadi malam, seniman terkenal dari pantai air manis itu. tak sama seperti yang kudengar sebelum-belumnya. ini menjadi menarik betul. tapi semalam orang tua itu tak bisa cerita tak sampai selesai. keburu dipotong cucunya yang datang ke kedai untuk menjemputnya tidur. Malam inilah Mak Karam berjanji akan melanjutkan ceritanya.

Setelah si malin besar, kata Mak Karam malam ini, keadaan tidak berbeda. kekerasan dalam arti fisik telah berkurang. toh, karena dia sudah besar. namun si Malin masih menjadi Malin dahulu. tak punya kebebasan dan tak bisa memilih. ia sudah jadi tulang punggung keluarga semasa remaja. Malin harus bekerja untuk membantu orang tua. kalau harus berutang maka si Malin-lah yang disuruh berutang oleh ibunya. dalam usianya yang muda, Malin terlihat termakan umurnya. karena dia tak pernah memilih apa-apa, memutuskan apa-apa.kehilangan kebebasannya, atau bahkan belum pernah punya.

namun ternyata Si Malin juga keras kepala, wajar jika ia begitu. toh karena dia anak ibunya. suatu saat ia putuskan untuk berlayar, untuk mendapatkan kebebasannya. untuk mendapatkan masa depan dan kesuksesan. dan ia telah mendapatkan persetujuan seorang nakhoda untuk menjadi awak kapalnya. namun waktu itu Mandeh tak setuju dengan pilihannya itu. menurutnya lebih baik Malin dirumah dulu. bantu orang tua saja. tak usah berlayar mengikuti tradisi merantau di kampung orang.

Malin tak menurut, ia teguhkan untuk berlayar. Mandeh murka, akhirnya dikutuklah kapal mereka untuk tenggelam. dan benar saja, kutukan Mandeh berlaku. kapal tersebut karam, syukur si malin tidak tenggelam, dia akhirnya bisa berenang ketepian.

"Sudah kubilang, jangan melawan keinginan orangtua" kata Mandeh ke Malin waktu itu.

Dan bertahun setelah sejak itu, Malin hanya memendam-mendam saja keinginannya untuk melakukan apapun. dia tak berani melakukan apa-apa tanpa perintah ibunya. mencintai gadis saja ia tak mau, kalau-kalau itu tak berkenan dengan Mandeh.

"Malin, kalau kau pilih gadis, yang kaya-rayalah kau pilih. jangan mau kau sama yang biasa saja, kau gagah tampah dan cerdas" kata Mandeh. "Ohh... kau tak kenal perempuan ya?" lanjutnya, "Tak apalah, nanti akulah yang carikan buatmu".

Malin hanya diam. dalam hati sebenarnya dia tak ambil pusing

Sampai akhirnya suatu ketika air pasang menyapu perairan di pantai kampung si Malin. semuanya hilang. kapal hilang. orang tak bisa melaut. dan semua ternak tersapu air. kehidupan keluarga Malin makin menyedihkan. akhirnya keluar jugalah titah Mandehnya. Si Malin di suruh merantau ke negeri orang. Biar jadi orang kaya, baru kembali. tak lupa pesan Mandeh juga untuk mencari gadis kaya raya untuk menjadi menantunya.

"Dan setelah itu, ceritanya sama seperti yang kau tahu" kata Mak Karam lagi akhirnya. "si Malin di rantau akhirnya berjaya dan kembali ke kampungnya."

"Dan ia tak mengakui mandehnya, dan Mandehnya mengutuknya jadi batu?" tanyaku balik.

"Oh bukan! Disitulah letak kesalahan ceritanya, si Malin tak pernah tidak mengakui Ibunya." jelas Mak Karam.

"Lalu?"

Si Malin kembali dengan digdaya dan jaya. Malin sangat rindu dengan orangtuanya. karena bagaimanapun Mandeh-nya tetaplah Ibunya. dia sudah jelaskan pula kepada mertua dan istrinya tentang keadaan Ibunya. dan mereka mengerti. dan meluap-luaplah kerinduan Malin pada Mandehnya.

itulah saat, Ketika mereka bertemu untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Malin dengan sumringah berlari-lari dari kapal ke rumahnya. larinya cepat sekali, sudah rindu benar sepertinya. orang yang sudah menunggu di dermaga tak dipedulikannya. dia ingin bertemu mandehnya. hanya itu tujuannya. Namun apa daya, ketika bertemu, betapa sedihnya hati Malin.

Mandeh tidak memeluknya, malah berkata :

"Mewah betul pakaianmu, Malin. sudah kaya kau sekarang. Nah, sekarang mana bagianku?"

tanpa babibu Mandeh malin merogoh kantung pakaian anaknya yang sudah lama tak bertemu itu. Malin tersinggung, ternyata yang dirasakan oleh Mandehnya tak sama dengannya. Ia sedih dengan dalam.

lalu Malin mengeluarkan semua emas yang ia punya, Kalung, cincin, uang dan lainnya. bahkan pakaian dan sepatunya. ketika kejadian itulah orang mulai berdatangan ke rumah itu. Malin terlihat seperti menendang Mandehnya.

lalu Malin berlari keluar dengan hati yang luka, tapi masih sempat terdengar olehnya "Mana yang lain Malin? Ini sajakah penghasilanmu?" teriak Mandehnya dari jauh.

Malin menangis, dan menemui aku sebagai tetua di kampung. Dan menceritakan semuanya. ia percaya padaku karena aku yang tahu yang ia rasakan dari kecil, kata Mak Karam.

Dan sebelum pergi, Malin minta tolong untuk dipahatkan padaku sebuah patung batu. aku bertanya untuk apa, tapi ia tak menjawab. cukup letakkan batu itu esok hari di pantai, katanya.

dalam hitungan jam aku, dan pekerjaku menyelesaikan patung itu. sebuah patung orang tertelungkup bersujud diatas dek kapal. dan kami mendapatkan bayaran yang besar dari Malin waktu itu.

dan benar saja, Malam itu Mandeh berteriak-teriak di kehujanan malam mengutuk Malin menjadi batu. Mandeh tidak tahu kalau Malin belum berangkat, hanya memindahkan kapalnya saja ke teluk bayur. Malin bersamaku waktu itu. Ia menangis melihat Mandeh mengutuk dan bersumpah serapah. Selepas Mandeh pergi, kita bersama meletakkan patung itu disana.

dan Paginya, dini hari, Malin berangkat lagi, kembali ke rantau.

Ibu Malin kulihat pagi hari kepantai, dan menangis melihat patung itu. dia menyesal, tapi sudah tak berguna. Malin sudah kadung terluka, dan karena dia keras kepala, persis ibunya. Ia takkan pernah kembali lagi.

"Dan begitulah cerita sebenarnya", kata Mak Karam.

Aku terdiam, cerita ini sungguh berbeda.

"Jadi Malin bukan anak durhaka?" gumamku pelan.

"Dia anak durhaka" Jawab Mak Karam juga pelan.

"Tapi Mandehnya juga durhaka" lanjutnya

"Dosa? Neraka? Tuhan yang tahu." lanjutku setuju

Tidak ada komentar:

Posting Komentar