RSS

Selasa, 26 Januari 2010

Saya Benci Rokok, kenapa anda tidak percaya?

pernah sewaktu kelas 1 SMA kalau tidak salah, saya pulang kampung. bukan ke Padangpanjang. tapi lebih kampung lagi, di suatu daerah yang bernama Lintau, tempat kedua orangtua saya berasal. Hari itu saya lewat di kota Buo, ibu kota kecamatannya (sebelum daerah itu dimekarkan menjadi dua kecamatan), dan melihat suatu peristiwa yang tak pernah saya lupa. Sampai sekarang mengingatnya masih membuat bulu kuduk saya berdiri.

Hari itu seorang pencuri kerbau tertangkap. Laki-laki, berumur sekitar 30-an. Perlu diketahui Lintau adalah suatu daerah yang "sepertinya" bebas dari hukum formal di provinsi Rendang itu. polisi yang hitungannya jari disana ketika itu hanya duduk saja di Pos. mereka tidak akan melakukan apa-apa, selama belum diminta pemuka masyarakat untuk ikut serta. tak heran disitu susah sekali ditemukan motor yang pajaknya masih hidup. tak pernah ada razia, pokoknya kemanapun disana tak perlulah pakai helm. Hukum adat masih sangat kuat. masalah dalam negeri diselesaikan dengan cara musyawarah antar keluarga dan datuk. Unsur kekeluargaan masih sangat terasa kental. Disana, senyumlah kesekitar, dan dunia akan tersenyum bersama anda.

tapi hari itu, senyum tak tampak. muka-muka gusar dan menahan marah bertebaran dimana-mana. tapi rasa kekeluargaan masih terasa. kebersamaan untuk sama-sama menghukum si maling. mencuri kerbau sangat hina di kampung saya itu. lebih parah dari mencuri mobil meski mobil lebih mahal. untuk membesarkan kerbau itu anda setiap pagi anda harus menyabitkan rumput untuknya. butuh kerja keras, dan waktu akan menumbuhkan rasa cinta anda terhadap kerbau itu.

tak berapa lama saya disana, bensin disiramkan. Subhanallah... sepertinya memang benar. budaya hukum massa sudah mendarah daging di Indonesia. Dan dalam hitungan detik, pencuri yang telah diikatkan ke pohon tersebut di unggun. wow.... Barbar sekali. Dan saya membuktikan kebenaran panasnya api neraka. yang konon bahan bakarnya adalah manusia. ternyata, api kalau kena manusia itu lebih keren dari pada ditambah bensin lagi. menggelora kawan....

Saya melihat kebencian yang amat sangat dari masyarakat yang selama ini aman, damai, dan tentram ternyata bisa menjadi begitu ganas ketika bertemu sesuatu yang mereka benci. itulah pesan moral yang saya ambil. dimana letak kemanusiaan? Ah, saya tidak begitu peduli. karena si pencuri juga tidak punya rasa kekerbauan di ranah yang bernama Menangkerbau. Bukan manusia yang menang, tapi kerbau. sekali lagi pesan moralnya adalah: kebencian bisa menyebabkan orang menjadi begitu sadis.

Ketika tulisan ini hampir selesai, saya baru sadar bahwa tulisan ini menyimpang dari judul awal. tergesa kemudian saya bakar sebatang rokok dengan sadis menggunakan api yang besar. rokoknya saya gigit kencang,saya hisap dengan dalam dengan mulut dimiringkan, menggambarkan kebencian saya padanya. Inilah yang ingin saya sampaikan; Saya benci rokok dan dengan konkrit saya bakar! dengan cara yang sadis!!!!

30 November 2008
03.16

Seri Mahasiswa Disersi Skripsi

Seri Mahasiswa Disersi Skripsi

Lima Jurus Jitu Pertahanan Menolak Serangan Boker!

Oleh: Zifah Nazim Piliang

Terinspirasi dengan buku “Duabelas Jurus Pertahanan Menangkis Serangan”-nya Asral Datuk Putih yang setahun lalu saya baca tapi tak kunjung selesai, tulisan ini mulai bergerak. Pak Asral dalam bukunya itu mencoba untuk memberikan perlawanan terhadap buku kontroversial yang lebih dulu terbit karangan Dr. Saafroedin Bahar yang berjudul “Masih Ada Harapan”. Mencoba metodologi yang sama, pendekatan yang sama, saya buat tulisan ini. Walaupun saya tidak tahu, adakah tulisan terdahulu yang berjudul “Masih Ada Harapan Untuk Boker”? Saya tak peduli, karena kalau dicari dulu boker-nya nanti tidak tertahankan lagi. Artikel ini akan mengantarkan anda menjadi orang yang luar biasa!

Pendahuluan (Pengertian, Latar Belakang, Batasan, dan Tujuan)

Ada yang tidak tahu dengan kata “boker”? Baiklah, untuk anda yang berdomisili atau sekurangnya pernah berinteraksi dengan masyarakat yang berada di daerah Jawa (terutama Jabodetabek), mungkin sudah sangat familiar dengan kata ini. Tetapi untuk mengantisipasi seandainya tulisan ini dibaca oleh pembaca yang bukan berasal dari daerah itu, ada baiknya saya jelaskan dulu definisi, prinsip, dan analogi dari boker.

Untuk tidak bermaksud untuk mengurangi makna, apalagi mengurangi nafsu makan anda, saya coba definisikan dengan sedikit bumbu ilmiah. Boker adalah suatu kegiatan dalam rangka menunaikan salah satu proses dalam sistem organ hewani, yaitu sistem eksresi tubuh. Prinsipnya adalah mengeluarkan ampas berupa zat padat hasil pencernaan dari dalam tubuh sehingga tidak mengganggu kestabilan organisme tersebut. Prinsip lain (pastinya adab menghadap kiblat tidak termasuk) menurut sebagian orang seperti harus jongkok atau duduk tidak disertakan dalam batasan tulisan ini. Karena hal ini bisa menimbullkan kontroversi, menganggu idealism masing-masing pembaca, sehingga bisa diciptakan tulisan sendiri daripadanya. Untuk analogi, kata boker memiliki banyak padanan kata. Dalam bahasa Indonesia normatif sering disebut Buang Air Besar (B.A.B). Untuk bahasa yang lebih halus dapat digunakan PUP, e’ek’, atau o’ok’. Kalau anda orang yang lebih lugas bolehlah menggunakan bahasa yang lebih kasar, seperti berak, atau tacirik dalam bahasa kampung saya. Untuk bahasa lain silahkan anda tambahkan di comment tulisan ini.

Proses ini natural dan fardhu ‘ain hukumnya. Kalau tidak dilakukan akan menimbulkan efek samping merusak kestabilan tubuh kita. Telah tersedia banyak sekali produk untuk menjaga anda untuk tetap melakukan kegiatan ini. Lantas, apakah tujuan saya menulis ini? Apa urgensinya? Jawabannya adalah saya menginginkan anda untuk menjadi manusia LUAR BIASA. “Super” kalau kata Mario Teguh. Kok bisa? Ya! Karena hanya manusia luar biasa yang bisa melakukan hal yang luar biasa, menakhlukkan tirani, dan kebiasaan umum. Menakhlukkan rasa ingin boker! Untuk menuntut ilmu seseorang harus bertapa dan bersunyi diri selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Lahirlah sebuah agama di India sana. Cerita luar biasa dari Sumanto atau Dukun A.S juga patut dilihat. Nelson Mandela rela dipenjara dan kehilangan kebebasannya untuk kemerdekaan. Luar biasa bukan?

Dari hukum manusia luar biasa anda melakukan hal yang luar biasa, saya yakin, walau belum dibuktikan, terdapat manfaat yang besar dari kegiatan menahan boker ini. Mungkin anda akan mendapat ilham yang Maha Kuasa berupa ilmu irrasional baru yang unik, sebangsa indra keenam. Atau sesial-sialnya anda pasti bisa terkenal, sekurangnya masuk berita atau acara televisi seperti GongShow. Kalau anda salah satu insan penganut sikap moral masyarakat yang menginginkan popularitas instant, hal ini cukup menjanjikan bukan? Tapi saya ingatkan, karena anda akan melakukan hal yang luar biasa, resikonya juga luar biasa. Bagi anda yang terlalu pintar dan berdedikasi untuk mempraktekkan tips saya, saya berharap Tuhan selalu melindungi anda. Meskipun saya yakin dengan ini, kita harus tetap waspada. Saya bukan praktisi, tapi Tehorist.teori bisa gagal, dan artikel ini tanpa legal hokum sehingga saya menolak untuk bertanggung jawab pada nasib anda. Nasehat saya, jagalah kesehatan anda selama terapi berlangsung. Bila perlu, sediakan tim ahli medis menemani anda.

Pembahasan.

1. Biarkan ketakutan menguasai anda
Setiap orang pernah merasa takut. Contohnya saya, takut sekali dengan binatang yang bernama lipan merah. Tidak ada kejadian traumatis di masa kecil (atau saya tak ingat), tapi sampai sekarang saya tak berani dengan lipan. Semasa SMA ketakutan ini sempat saya taklukkan, saya sudah bisa membuang bisa lipan, memainkan, dan memasukkannya ke kantong baju sekolah saya. Tapi nasib berkata lain, ketika pelajaran sedang berlangsung, si lipan tega-teganya keluar dari saku baju saya. Timbullah kegaduhan akut, teman wanita saya berteriak-teriak seperti bertemu boyband F4 (sangat terkenal waktu itu). Guru saya murka, meski saya murid kesayangan (dia sendiri yang bilang), saya tetap dikartumerahkan dari arena pembelajaran. Semenjak saat itu saya kembali takut dengan Lipan.

Hubungannya dengan boker, biarkan boker menjadi salah satu ketakutan anda. Bentuklah suatu pola pikir yang cerdas dan bermanfaat. Itu saya serahkan kepada anda. Bisa jadi, “Dengan boker, saya kehilangan berat badan, padahal saya-kan sudah kurus?” Atau “Kalau Boker ntar usus saya juga keluar gimana dong?” Hal ini mungkin berhasil selama anda konsisten dengan pola pikir anda tersebut.
Bila tidak, anda harus sertakan ketakutan hidup anda dalam kegiatan pembuangan tersebut.

Konstruksikan sesuatu dalam pikiran anda. Saya takut dengan lipan, maka saya akan bayangkan kalau setiap toilet itu penuh dengan lipan, Atau lipan suka makan PUP, jadi ketika saya Pup, lipan bergerak seperti magnet mendekati saya. Mengerikan bukan? Perlahan trauma anda akan beralih ke Pup-nya tidak lagi ke lipannya. Saya percaya itu, meski tidak saya buktikan sendiri. Ruang saya selalu berantakan, tapi saya menyukai toilet yang bersih, jadi tidak pernah bertemu lipan. Ketika anda sudah merasa trauma dengan boker, anda telah satu langkah didepan. Tinggal satu langkah lagi. Gampang kan?

2. Hati-Hati dengan Air, Pelarut Universal

Konon, tubuh kita 80% air, saya percaya itu karena selalu dituliskan dimana-mana. Yang banyak tak mungkin salah. Beda cerita dengan Golkar pada masa orde baru. Selama diberi kebebasan maka yang banyak tak mungkin salah. Begitulah kira-kira. Nah, air bebas dalam tubuh manusia. Ia adalah bagian inti dari darah anda, termasuk biji mata anda (mohon kata mata jangan sampai dihapus). Jika dalam pencernaan kita banyak terdapat air, maka pencernaan akan lancar.

Dari hasil pengamatan saya terhadap pola makan pelanggan di Rumah Makan langganan saya, dalam rangka kesempurnaan artikel ini, agar ampas minimalis, hindarilah minum terlalu banyak sebelum makan. Cukupkan saja untuk membasahi mulut anda. Hindari juga minum sedang makan. cukup minum setelah makan saja.

Satu hal lagi yang cukup penting, hindari teh sebagai teman makan nasi anda. Berbagai fakta medis menyebutkan bahwa teh dapat menghalangi pencernaan ketika dikonsumsi bersama makanan berat. Menghambat penyerapan karbohidrat, ini nantinya akan menghalangi penyerapan di usus halus dan besar sehingga jumlah ampas akan jadi makin banyak. Teh yang dibolehkan adalah Teh Hijau (Green Tea), diluar itu baiknya dihindari. Termasuk Es Teh Manis, Teh Hangat, Teh Panas, Teh Tawar, Teh Goyang, Teh Telur, Teh Tarik, Teh Susu, maupun Teh bermerek mahal sekalipun jika bukan teh hijau.

3. Bila ia menyerang, kuasai diri anda

Ia pasti menyerang, hasrat yang sangat kuat bagai tak tertahankan. Ini alamiah. Jika hal ini terjadi, anda harus segera berpikir positif. Mimpikanlah kembali cita-cita anda menjadi terkenal dan manusia luar biasa (extraordinary people). Luruskan kembali nawa’itu (niat) anda. Dengan begitu anda akan cepat menguasai diri anda kembali. Mungkin peluh akan membasahi anda, tapi itu merupakan bentuk ekskresi yang diperbolehkan. Itu alamiah dan normal sekali. Setelah itu konstruksikan pikirkan anda kembali, pikirkan ketakutan anda, atau pikirkan hal yang lain yang lebih menarik. Kekasih anda misalnya.

4. Jangan pernah pikirkan T.O.I.L.E.T atau mendekatinya.

Ini langkah penting. Ini wajar, karena ini lebih berat dari pada puasa. Mungkin anda akan merasa seluruh dunia memusuhi anda. Karena hampir disemua tempat peradaban manusia dibuat ruang kecil yang bernama toilet. Jangan berpikir negatif, disitulah letak ujiannya. Wajar, karena bangunan dibentuk berdasarkan berdasarkan basic need manusia. Manusia biasa, tepatnya. Ingat, anda sedang proses menuju manusia luar biasa.
Untuk itu hindarilah tempat-tempat tersebut. Mungkin banyak papan arah toilet dimana saja. Ketika mata anda terbentur, segera berpaling dan berjalan ke kebalikan arah toilet tersebut. Ini penting, terutama jika anda sedang dalam badai tekanan serangan.

5. Jika Gagal, hukum diri anda, dan coba kembali
Selalu ada kata maaf. Anda pun harus memaafkan diri anda. Tidak berarti secara tiba-tiba anda harus berhenti langsung. Kalah perang pertama kali biasa, tapi jika telah terbiasa anda akan bisa bergerilya. Sebagai pelengkap anda mungkin bisa membaca Gerpolek karya Tan Malaka. Mundur selangkah untuk maju. Kalah wajar, asalkan determinasi anda tidak goyah.
Tapi jika anda merasa kalah, selalu pikirkan sebuah strategi untuk kalah terhormat. Lebih konkritnya, ketika rasa itu melanda dan hasrat itu minta dilepaskan. Jangan pernah melepaskannya di toilet. Hal ini bisa membuat anda kalah secara permanen. Lepaskanlah di tempat yang tak wajar dan beresiko. Hal ini bisa sedikitnya memberikan rasa jera pada jiwa anda untuk merasa kalah. Contoh, disemak belukar, tapi pilihlah dekat rumpun bambu dimana resiko ular lebih tinggi. Bisa juga di semak jelatang.
Kalau anda berada dalam gedung, cari tempat-tempat sepi seperti parkiran dimana resiko lebih terasa. Atau bisa juga di mall diantara toko-toko yang tutup. Jika ketahuan satpam atau massa segera lari. Saya ingatkan untuk menjaga kesehatan dan harga diri anda. Dan setelah itu cobalah untuk shaum (menahan) kembali seperti biasa.

Demikian tulisan ini, saya belum dapat menyimpulkan apa-apa karena belum ada feed-back dari anda yang telah mencoba. Saya berharap perbaikan dari anda untuk kesempurnaan tulisan ini, atau jika anda telah mencoba dan berkenan untuk membuat artikel yang lebih praktis dari ini, saya akan sangat berterima kasih. Ilmu bukan untuk dimonopoli. Saya anti hak-cipta, apalagi hak-paten yang memonopoli ilham dan wahyu Tuhan hanya untuk memperkaya diri. Terima Kasih.

1 desember2008
18.00

**Saya menyadari ketiadaan urgensi intelektual untuk membuat tulisan ini, menjadikannya salah satu tulisan ternorak yang pernah saya buat. Tapi harap dipermaklumkan, tulisan ini adalah hasil pikiran mahasiswa yang disersi dari skripsi

Cerpen si Pandir: Kasihan...

“Kasihan”

H.M.P


Wanita itu telah pergi dari kedai. Nurdin merasai kini lutut lenyai dan tiada bertenaga. Meski dipaksakannya juga tegak, kedua tungkainya saat itu tidak bisa menopang badan. Jantungnya masih berdebar keras, belum lagi matanya yang memerah. Diantara hembusan nafas yang kencang, tergesa ia ambil rokok yang tadi dimatikan. Dalam hitungan detik mulutnya dihiasi sebatang rokok yang ia gigit kencang. Tak berapa lama, batangan laknat itu menyala. Asapnya menari bak menghibur. Namun, itu ternyata tak laku oleh si muka suram. Asap itu dianggap sepi, terlihat kegelisahan tak juga lepas dari mukanya. Gas bau itu pun mahfum, sahabatnya itu baru saja mengalami serangan psikologis yang hebat.

Cintanya baru saja ditolak. Ditiupkannya asap rokok keras-keras. Ia kesal. Kesal atas semuanya. Kesal karena ingat bahwa hari ini dia menunggu wanita itu untuk bertemu sampai 3,5 jam. Nurdin tahu menunggu itu membosankan. Tapi sungguh baru tahu ia kalau menunggu itu bisa demikian menyiksa. Dan hasil penungguannya yang menyiksa itu juga tidak menyenangkan hati. Nurdin mengasihani dirinya. Hatinya luka. Patah sudah!

Kencang kemudian Nurdin meminum kopi yang tadi ia pesan. Masuk seperti air kedalam selang, seolah tiada berlidah lagi di rongga itu. Tidak dirasainya cairan itu. Ditelannya seolah menelan semua kekecewaan yang baru saja dialami. Kalaulah diperturutkannya hati mungkin dia mau rasanya berteriak sekuat hati. Atau menumbuk meja ini dengan keras padahal tidak mengobat apapun. Mengejutkan semua orang yang ada di kedai itu. Malu tidak ia hitung lagi, sungguh tindakan yang telah ia lakukan beberapa menit yang lalu lebih memalukan bagi dirinya. Ia mengemis. mengemis tentang apa yang bukan jadi haknya. Minta dikasihani. Tapi mulutnya selama ini selalu berucap “Lelaki, khususnya Aku, paling benci dikasihani!”. Naif. Munafik. Atau adakah kata yang lebih buruk?

“Kenapa kau diam? Tidakkah ada lagi yang disampaikan?’ tanya wanita pujaannya itu.

“ Tidak…. Hanya Aku baru sadar kau baru saja menghancurkan aku”

“Maafkan Di, Sungguh menyesal!” wanita itu langsung merapatkan tangannya memohon maaf.

Seketika Nurdin terenyuh, malu, dan kecewa pada dirinya. Ucapannya benar, lukanya memang teramat dalam sehingga tak mampu lagi diperdalam. Namun kalimat terakhir yang ia ucapkan menurut Nurdin sungguh tak pantas. Ia minta dikasihani. Dengan begitu ia telah menjadi budak. Telah menjadi tak berharga dalam pikirnya. Dalam trackrecord-nya tak pernah begitu. Ia mengatakan yang hitam itu hitam dan putih itu putih. Tak mau dia tunduk didepan orang minta dikasihani. Tidak juga untuk hidupnya. Tidak juga ideologinya, serta tidak juga agamanya. Tapi kini ia menjadi budak. Budak Cinta. Suatu yang sebenarnya wajar. Tapi tidak bagi Nurdin, mukanya kini tercoreng. Tercoreng oleh air keras. Rasanya melepuh kulit mukanya sehingga tak tau kemana mau dia sembunyikan muka itu. Malu; muka itu kemaluannya. Musti ditutupi.

Tangan diatas lebih baik baik dari tangan dibawah. Ungkapan itu terpatri dihatinya sejak kecil. Paling anti keluarganya minta kasihan orang. Daripada minta kasihan orang baik makan ubi yang direbus saja. Atau beras pembagian pegawai negeri yang dijual lebih mural di pasar. “Biar mati dikalang tanah dari pada hidup bersandar ke bahu orang”, kata Ayahnya dulu. Manusia hidup dengan usahanya sendiri. Rezeki itu datang karena dicari sendiri. Itu dipahami betul oleh Nurdin.

Kalaulah ia orang yang meminta, tentu tidak ada bedanya ia dengan masyarakat lain di negeri ini. Juga pemerintah yang selalu ia tulis sebagai “sumber kebodohan” di surat kabar tempat ia bekerja. Mereka membagi-bagikan uang, mengajarkan masyarakat untuk minta dikasihani.

“Hahahah……Subsidi orang katanya” tawa Nurdin keras sendirian. Menarik muka beberapa orang di sekitarnya kearahnya. Tapi sejenak kembali ke kegiatan semula. Nurdin tetap tertawa-tertawa kecil.

Dia rogoh tasnya dan mengeluarkan buku catatan kecil. Terpikir untuk menuliskan sesuatu, mungkin untuk tulisan dia berikutnya. Sebagai penulis dia terbiasa menuliskan apa yang terpikir seketika ia memikirkannya. Namun tak lama ia menulis, ditaroh kembali penanya. Mukanya kembali suram. Hilang tawanya tadi.

“Munafik…” katanya pelan sekali

Tak pantas aku menuliskan ini, sementara aku juga seorang peminta kasihan orang. Begitu kata hatinya. Persis seperti aparat pemerintah yang ketauan korupsi kemarin. Padahal ia berposisi sebagai pemberantas korupsi. Orang yang selama ini dikagumi Nurdin dari tulisan-tulisannya yang penuh kebenaran. Seperti wahyu Tuhan. Tidak bisa dipercaya manusia. Demi uang mereka bermukakan kebaikan dan idealisme tapi di dalam mengharapkan belas kasihan berupa pemberian dan memakan harta yang bukan hak-nya.

“Demi uang, uang, dan uang..” ucap Nurdin berulang kemudian.

Sesaat kemudian Nurdin terbangkit kesadaran dirinya. Dikeluarkannya dompet. Dia sebarkan semua isi termasuk uangnya di meja. Ia berpikir. Dari mana ia mendapatkan uang-uang ini? Honor menulis, gajinya sebagai wartawan, dan beberapa proyek sampingan lain. Semuanya halal. Tapi semuanya upah. Nurdin merasa ia “meminta” uang itu atas kerjanya. Padahal niatnya untuk sumbangsih pada masyarakat. Nurdin semakin muram, ia merasa semakin munafik.

Dilihat juga oleh Nurdin kartu-kartunya. Terselip kartu mahasiswanya dulu. Nurdin tersenyum. Teringat masa yang indah di perkuliahannya dulu. Semasa aktivis pers kampus dulu dia sudah menulis berdasar idealismenya seperti sekarang. Tapi tak pernah mengharapkan uang. Semua dilakukan atas dasar kesenangan tulisannya dibaca orang. Terpikir juga olehnya, dari mana ia mendapatkan uang dulu ketika kuliah? Kiriman orang tua, bekerja proyek, dan juga beasiswa. Sontak Nurdin kaget, sekarang ia merasa dialah peminta sejati seumur-umur. Ia merasa lebih bodoh dari pemerintah,dari aparat anti korupsi itu. Toh mereka kaya dari meminta-minta, sementara ia? Pikirannya kalut.

“Pinjam pisau sebentar, bolehkah?” tanyanya ramah pada pelayan kedai itu.

Sudah biasa bagi pelayan itu orang meminta pisau. Biasanya untuk kue ulang tahun dan sebangsanya yang memang tidak dilarang dibawa pengunjung di kedai itu.

Tak lama kemudian pelayan itu kembali tapi segera kembali. Nurdin meminta pisau yang lebih tajam. Pelayan itu mau saja. Toh tak ada ruginya.

Baru semuanya di kedai terkejut ketika tersembur carian merah menyala-nyala. Nurdin tergelak-gelak. Dinikmatinya setiap tetes darah yang keluar dari pergelangan nadinya.

“Keluarlah kau semua! Hasil meminta-minta” teriaknya keras-keras.

Semua berteriak histeris. Para wanita menutup dan memalingkan muka. Ngeri. Para lelaki tak kalah kejutnya, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Tangan Nurdin yang satunya masih memegang pisau. Mereka juga ngeri.

Tak puas, Nurdin mengibas-ngibaskan tangannya itu hingga terpancarlah darah itu kesemua arah. Ia mengakak makin keras. Ia berlari keluar kedai itu sempoyongan sampai kepinggir jalan. Pucat mukanya terlihat jelas di terang matahari. Disaat itu tenaganya habis. Belum mati dia terjerembab ke jalan. Langsung disambut mobil. Badannya tercerai berai. Tapi kepalanya tertawa. Masih.

Ramai orang membicarakan Nurdin. Banyak yang bersimpati banyak pula yang mengutuk. Bersimpati karena mengasihani; sesuatu entitas rasa yang dibenci oleh Nurdin. Dikasihani. yang mengutuk pun tak kalah banyak. Nurdin namanya di pisah; Naar dan Diin (Dinul). Naar untuk Neraka dan Din untuk Agama. Tindakan Nurdin adalah Umpan Neraka. Kasus Nurdin diajarkan sebagai kesesatan pada anak mereka. Termasuk di Televisi dalam acara criminal sebagai ketidaksanggupan dalam hidup. Nurdin di eksploitasi sebagai kasus politik sebagai ketidaksanggupan mengatasi biaya hidup.

Sementara itu dikubur sana, Nurdin sedang terjaga. Baru sadar ia telah mati.

Ketika malaikat menemuinya, Nurdin mempersiapkan segala jawaban dengan baik. Man rabbuka dan lain-lain telah dia hapalkan jawabnya.Meskipun bukan orang yang berjenggot panjang, Nurdin cukup ahli agama. Ia juara MTQ di kotanya.

Nurdin pede.

Seketika malaikat datang. Tapi tak satu pun pertanyaan keluar dari sang malaikat. Nurdin langsung dipecut, siksa kubur.

Lalu Nurdin yang akhirnya bertanya, “tidakkah aku ditanya dulu?”

Malaikat tidak langsung menjawab melainkan kembali memecut. Ctarr… “Kau membunuh diri! umpan Neraka!”

Nurdin kesakitan dan menangis. “Tidak ada maksudku membunuh diri; kusucikan diriku dari ketololan dunia” jelasnya.

Malaikat menjawab “sudah kuketahui semuanya!”

Ctarr.. malaikat meneruskan siksaannya.

Diantara tangisnya ia meminta: “Kasihanilah saya….”

Malaikat tersenyum “Akhirnya kau minta dikasihani lagi. Kenapa tidak dari dulu kau makan egomu bulat-bulat? Sehingga tidak perlu menemui ajal”

Ctaar..!!! Siksaan itu berlanjut.

Depok, 18 Juni 2008

Sebuah cerita dari Malalak

Tetap Mandiri di Kala Bencana
Sebuah cerita tentang Kemandirian

171009:1837

Maghrib telah menjemput di Jorong Siniair, Nagari Malalak Selatan. Penduduk-penduduk mulai kembali ke kediaman sementara mereka. Kebanyakan dari mereka kembali ke tenda-tenda. Agak berbeda dengan penduduk lain, seorang warga bernama Pak Baruh tidak tidur di tenda. Ia kembali ke bedengnya, sebuah rumah kecil dengan ukuran tiga kali lima meter yang ia buat sendiri secara darurat dengan menggunakan bahan dari rumahnya yang telah hancur menjadi puing.

Ketika Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Letjen Syamsul Maarif beserta rombongan wartawan datang ke lokasi, Pak Baruh baru saja selesai menidurkan anaknya yang tengah sakit. Mendengar serombongan mobil lewat dan berhenti di sekitaran depan rumahnya, Pak Baruh buru-buru masuk kembali kedalam bedeng. “Saya tadinya sempat khawatir suara mobil akan membangunkan anak sulung saya,tapi Alhamdulillah masih pulas tidurnya” katanya.

Sebuah gempa berkekuatan 7.9 skala richter yang memicu tanah longsor telah melanda kecamatan Malalak Kabupaten Agam pada 30 September yang lalu. Di Nagari Malalak Selatan, bencana tersebut telah menewaskan 62 orang tetangga, menjadikan ribuan keluarga kehilangan tempat tinggal, serta menutup akses ke kampungnya untuk beberapa hari. Kondisi ini menjadikan daerah tempat tinggal Pak Baruh ini menjadi salah satu wilayah dengan kerusakan terparah di Kabupaten Agam.

Tapi agak berbeda dengan tetangga-tetangganya, Pak Baruh tidak tidur di tenda. Kondisi bencana baginya tidak menjadi alasan untuk membiarkan keluarganya, terutama anak sulungnya yang sedang sakit, untuk tidur di dalam tenda. “Esok paginya setelah gempa, saya langsung melihat bahwa bahan-bahan rumah masih bisa dipakai, saya segera kerjakan bedeng ini” ceritanya. “Alhamdulillah anak saya tidur diluar hanya pada malam pertama kejadian. “ lanjutnya dengan wajah yang cerah.

Meskipun bedengnya tak begitu besar, hanya berukuran tiga kali lima meter, dan mungkin tidak cukup menampung seluruh anggota keluarganya yang berjumlah tujuh orang ditambah barang-barang, Pak Baruah merasa cukup puas. “sekurangnya anak saya tidak kena angin banyak” jelasnya. Memang anak laki-laki Sulung Pak Baruh masih berumur 12 tahun mengalami kelainan pada testis kelaminnya dan sempat dirawat di Rumah Sakit Pusat Daerah di Padang. “Badannya demam setiap malam, saya tak sanggup melihat ia tidur di tenda. Kalau tempatnya tak cukup, saya dan mertua masih bisa tidur di luar” jelasnya.

Rumah Pak Baruh merupakan salah satu rumah yang mengalami kerusakan terparah di Jorong Siniair. Di dusun tersebut kebanyakan masalah pengungsian adalah tempat tinggal. dan masalah tersebut bersama tekad kuat untuk tak membiarkan anaknya kedinginan dapat diselesaikan secara mandiri oleh Pak Baruh. “Alhamdulillah masalah tempat tinggal, saya sementara ini tak masalah. Kalau makanan kami telah mendapatkan (bantuan) cukup” jelas Pak Baruh ketika ditanyakan tentang bantuan yang ia dapat.

Kemandirian, Kreativitas, dan kerja keras Pak Baruh menyelematkan dirinya dan keluarga. Tetap Mandiri dan kreatif di kala bencana.

Senin, 25 Januari 2010

Legenda Atuk

Teman, mari kukisahkan satu cerita. Mungkin bisa kau ingat ketika kau akan tertidur besok hari. Atau jika hanya membuatmu ingat untuk beberapa menit setelah kisah ini berakhir pun tak apa. Yang jelas, aku sudah pernah menceritakannya padamu. Kalau pun merasa kisahnya tak bagus, ingatlah aku sebagai teman pernah merasa perlu menceritakan kisah ini padamu.

Kisahnya tentang sebuah legenda di kampung saya. legenda tentang seorang tua, sakti, dan mistis. biasa dipanggil "Atuk". sebuah panggilan untuk orang tua yang dihormati, namun tidak diketahui namanya. diambil dari kata "Datuk".

Orang ini selalu menginspirasi, selalu membuat perubahan dalam hidup seseorang yang bertemu dengannya. Ada yang tiba-tiba saja menjadi kaya, ada juga yang tiba-tiba jatuh miskin. Ada yang tiba-tiba meninggal, ada juga yang setelah itu berumur sangat panjang. Intinya, kehadirannya itu ibarat pertanda, satu yang signifikan dalam hidup anda akan terjadi.

Dari orang yang bertemu dengan dia, tak ada satupun yang bisa menjelaskan spesifik ciri-ciri fisik signifikan. kalau ditanyakan betul, mereka hanya mengidentifikasi sebagai orang tua berbaju panjang, kadang ada yang bilang putih dan hitam, dan selalu tersenyum.

anehnya, dari pertama sekali saya mendengar kisah ini ketika umur 5 tahun, sampai sekarang umur 23 tahun hampir, penampakan Atuk masih serupa-serupa itu juga. dia tidak pernah bertambah tua, dan juga berarti tidak pernah meninggal juga. Dipercayai juga, bahwa tidak usah takut tidak bisa mengenalinya ketika kamu bertemu dengannya. Dari alam bawah sadar, anda akan tahu, bahwa inilah Atuk itu. Darah kita akan berdesir dengan sendirinya. dan berucap "Assalamualaikum Atuk"

Senyum atuk itu aneh, Ada yang ketika melihat senyum Atuk menyambut dengan senyuman juga. adapula yang tiba-tiba terisak. ada yang tertawa, ada pula teriak-teriak seperti orang tak waras.

Banyak orang yang telah bertemu dengannya, tetapi selalu dengan tidak sengaja. Tidak satupun orang yang tahu dimana rumahnya, keluarganya. Dia muncul tiba-tiba, dan menghilang sesuka dia juga. meskipun dia baru bertemu kita, sekejap mata juga bisa langsung menghilang. itulah mungkin kenapa dia tidak bisa dicari-cari, dia bisa muncul kapan saja didepan kamu, di samping, atau dibelakang.

Apakah anda merasa hidup anda biasa saja? dan berusaha mencari pertanda signifikan untuk mencarinya? mencari senyumannya. biasanya sih, tidak bisa diketemukan. tapi ada beberapa orang yang bercerita bahwa Atuk merasa kasihan melihat orang-orang yang mencari dia dan menemui mereka sebagai bentuk penghargaan atas usaha mereka.

Hm.. tapi kalau boleh kusarankan, kalau kamu ingin mencari Atuk juga, cobalah cari dipemakaman. Dari yang saya dengar, Atuk memiliki hobi untuk muncul di pemakaman. tak ada yang tahu motifnya, mungkin karena dia ingin meninggal karena setelah sekian lama masih saja tua dan tak kunjung meninggal. atau ada yang bilang juga, kalau Atuk itu selalu ingin meramaikan pemakaman, sehingga orang yang ditinggalkan tidak merasa ditinggalkan sendirian kesepian. Jadi, ketika dipemakaman, sesekali lihatlah disekitar, mungkin Atuk berada disekitar situ.

Dan jika anda tak ingin hidup anda berubah signifikan, maka tidak perlulah mencari-cari Atuk. Pun begitu, yang berhak memutuskan orang yang ingin ditemui olehnya adalah Atuk sendiri. Dia itu seperti takdir. tidak ada yang dapat mengatur-aturnya. dan bertemu Atuk adalah kesediaan, kesediaan untuk menerima segalanya, kesediaan untuk berjuang.

tapi kisah ini bukan tentang itu saja, kalau hanya tentang Atuk saja tak perlulah rasanya kuceritakan sedemikian. Aku bertemu Atuk hari ini, itu yang ingin kuceritakan padamu.

Sungguh pengalaman yang aneh. Dia tersenyum, aku tak tersenyum, tapi tak juga sedih. Aku pusing.

setelah kuucap salam, kutanyakan sebuah pertanyaan yang selalu ingin kutanya sedari kecil

"Nama asli Atuk siapa?" tanpa basa basi kutanya,

Atuk tersenyum masih, lalu kemudian bibirnya bergerak pelan. suaranya begitu pelan. tapi masih sanggup kudengar.

"Namaku Masa" katanya.

"Datuk Masa?" ulangku

Dia tersenyum dan mengangguk.

Akupun tersenyum. tapi kemudian sekejap saja, dia menghilang. Aku sendirian sekarang. masih merasa pusing.

"Masa?" ulangku lagi untuk diriku sendiri.

Aku kaget, karena merasa sudah kenal lama dengan Atuk itu. Kulafazkan istighfar berulang kali. Tuhan telah memperkenalkanku dengannya. "Wal 'Ashri" kata Tuhan.

Lalu tiba-tiba lagi aku merasa pusing bertambah berat.

Anak Jakarta

Kampung kami kecil kawan, tidaklah lebih besar dari luasan tanah empat hektar. Tak lebih dari 50 rumah yang saling berdekatan. Tak lebih dari 300 orang menghuni kampung kami. Karena itulah kami saling kenal mengenal. Dari yang kepalanya sudah memutih sampai rambutnya yang belum tumbuh. Kalau kawan ingin, kami bisa sebutkan satu persatu namanya pada kawan. Tapi tak usahlah, itu buang waktu saja.

Yang ingin kami ceritakan, kawan, bukan semua orang di kampung kami itu. Hanya seorang saja. Anak-anak malah. Ya, seorang anak di kampung kami yang tidaklah istimewa juga. Hanya anak yang suka memakai celana pendek dan bermigrasi di sepanjang kampung. Ketika belum bisa naik sepeda, berlarilah dia berotasi sekeliling kampung. Kalau sudah, bersepedalah ia.

Anak ini biasa, seperti anak lain. Tapi jadi lain kalau misalkan tuan menanyakan tempat padanya. Seperti pertanyaan “Dari mana?”, “Mau kemana?”, atau “Rumah si anu dimana?”. Karena semua pertanyaan itu akan dijawab singkat, meyakinkan, disertai intonasi yang menyebalkan olehnya. Dia akan jawab dnegan satu kata “Jakarta!”. Sungguh terbayang menyebalkan bukan?

“Dari mana kamu, adek kecil?” … “Jakarta!”” (bahkan tanpa melihat sedikitpun pada yang ditanya).

Ketika mau berangkat ke teka misalnya (ketika dia sudah masuk taman kanak-kanak), tuan Tanya dia mau kemana.. tetap saja akan dijawab “Jakarta!”

Awalnya memang menyenangkan dan jenaka, tapi setelah itu menyebalkan. Karena kami tahu anak ini bukan idiot.

Kami sebagai orang kampung tersebut tidak tahu penyebab ke-jakarta-jakarta-annya anak ini. Sungguh tidak tahu. Dia bukan dari keluarga perantau yang punya sanak keluarga di Jakarta. Sama sekali tidak. Orang tuanya Cuma merantau seratus kilometer ke kota kami yang kecil ini. Mungkin pengaruh televisi mungkin, tapi sepertinya tidak juga. Anak ini hobinya nonton berita, terutama perang. Dan semua yang ia tonton akan diceritakan pada setiap orang yang dating kerumahnya. “Di irak, Om, begini….”, “ditembak Om, gini…” blablabla… tapi sungguh, tak pernah ia menceritakan tentang Jakarta. Atau dari teman-kah? Siapa? Tidak ada yang tahu pasti. Jakarta terlalu jauh bagi kami, bagi keluarga anak itu juga.

Sampai pada akhirnya kami bosan bertanya, tidak pernah lagi kami bertanya tempat padanya. Dan dia juga terlihat menikmati untuk tidak ditanya apa-apa. Kami kehilangan kata sapaan padanya. Misalkan biasanya kami menyapa dengan kata Halo diikuti dengan dari mana atau mau kemana, maka pertanyaan itu tidak bisa diajukan padanya. Orang kampung kami bingung. Bagaimana cara menyapa anak kecil ini. Maka sebagian besar beralih menanyakan keadaan orang tuanya.

Begitulah yang terjadi pada hidup anak itu.

Sampai pada suatu waktu, kami dikejutkan oleh berita. Anak itu benar-benar ke Jakarta. Mengikuti perlombaan kelas anak kecil sampai menjadi wakil provinsi kami ketingkat nasional. Sungguh baik prestasinya. Terkejut, karena dia benar-benar ke Jakarta, kota yang selama ini dibunyi-bunyikan mulutnya itu. Dari umur 4 tahun dia bicara tentang Jakarta terus, dan di umur 5 tahun dia benar-benar Jakarta. Kami tidak tahu selama ini anak ini hanya mengguyon ataukah dia benar-benar percaya akan pergi ke Jakarta, meninggalkan kampung kami yang kecil ini. Luar biasa! Dengan bilang Jakarta-jakarta saja dia bisa benar-benar ke Jakarta.

Namun ada yang berubah dari anak itu selepas kembali dari Jakarta. Dia tak pernah lagi bicara “Jakarta!”, dia lebih kelihatan rendah hati. Ketika orang bertanya, dia akan menjawab secara jujur. Hiburan kami hilang. Dia jadi tidak seperti biasanya. Mungkin karena ia telah melihat bagaimana Jakarta itu. Konon Ibu kota yang ganas itu. Tapi suatu kali, ada yang bertanya padanya, “Adek kecil kan sudah pernah ke Jakarta, mau ke Jakarta lagi tidak? “ di luar dugaan anak itu mengangguk mantap. “Nanti pas sudah besar saja” katanya. Kami makin tidak mengerti.

Sekarang anak itu sudah besar, dan percaya atau tidak, dia benar-benar tinggal di Jakarta. Kemarin dia pulang, ceplas ceplos layak biasa, jawab pertanyaan seenaknya. Tanyalah “Dari mana?” akan dijawab “dari tadi”, “mau kemana” akan dijawab “kesana”, dsb. sambil tertawa-tawa. cuma sekali sepengatahuan saya dia menjawab pertanyaan kami dengan serius. Waktu itu saya sendiri yang bertanya.

“Mau kemana, Dek?”

“Belanda!” jawabnya cuek.

Hah.! Mukanya persis seperti anak kecil yang kukenal mau ke Jakarta dulu. Aku kaget, Mau ke Belanda pula anak ini. Negeri penjajah itu. Berapa kali nyambung bis kesana, pikirku. Lomba apa pula yang harus ke Bulando? Lomba jadi penjajah?

hmp

Malin Kundang kata Mak Karam

malin kundang versi asli Mak Karam

si Malin kecil duduk bersimpuh di sudut ruangan. tak berani menangis, hanya tinggal sedu sedan yang tak sanggup ia hentikan. ia merasa pusing, karena terlalu banyak air mata yang keluar. Mandehnya seakan tak letih-letih memukulnya dari tadi. sebatang rotan sebesar empu jari tertegak disebelahnya. Mandeh meletakkannya disitu, di tempat yang mudah diraih jika ia merasa perlu untuk memarahi anaknya lagi. Mandeh kecewa, karena anaknya tak mau menurut. ia merasa, anak ini perlu di pukul untuk diajari. dan mungkin, itu satu-satunya cara.

tak peduli dimana, di depan keluarga lain, di depan tetangga, malin selalu dipukuli jika salah. Ibunya yakin metode ini merupakan cara yang paling tepat untuk mengajar. dan ia meyakinkan teman-temannya untuk meyakini hal yang sama.

"Dengan begitu dia akan jadi disiplin", katanya pada Mak Karam
"Kalau kau tak percaya lihatlah nanti kalau dia sukses ketika dewasa" lanjutnya.

Mak Karam mengangguk, tak sepenuhnya setuju. tapi dia selalu memperhatikan keluarga ini. Mak karam memaklumi betapa Mandeh Malin sangat menggantungkan harapannya ke Malin. untuk mengeluarkannya dari kesedihan dunia tanpa harta. tapi disisi lain ia juga kasihan melihat anak sekecil itu. makanya setiap kali Mak Karam datang, ia selalu mengusap-usap kepala malin. pertanda sayang sembari berdo'a, "Tuhan berikanlah kesabaran pada anak sekecil ini".

begitulah cerita tentang si Malin waktu kecil yang kudengar dari Mak Karam tadi malam, seniman terkenal dari pantai air manis itu. tak sama seperti yang kudengar sebelum-belumnya. ini menjadi menarik betul. tapi semalam orang tua itu tak bisa cerita tak sampai selesai. keburu dipotong cucunya yang datang ke kedai untuk menjemputnya tidur. Malam inilah Mak Karam berjanji akan melanjutkan ceritanya.

Setelah si malin besar, kata Mak Karam malam ini, keadaan tidak berbeda. kekerasan dalam arti fisik telah berkurang. toh, karena dia sudah besar. namun si Malin masih menjadi Malin dahulu. tak punya kebebasan dan tak bisa memilih. ia sudah jadi tulang punggung keluarga semasa remaja. Malin harus bekerja untuk membantu orang tua. kalau harus berutang maka si Malin-lah yang disuruh berutang oleh ibunya. dalam usianya yang muda, Malin terlihat termakan umurnya. karena dia tak pernah memilih apa-apa, memutuskan apa-apa.kehilangan kebebasannya, atau bahkan belum pernah punya.

namun ternyata Si Malin juga keras kepala, wajar jika ia begitu. toh karena dia anak ibunya. suatu saat ia putuskan untuk berlayar, untuk mendapatkan kebebasannya. untuk mendapatkan masa depan dan kesuksesan. dan ia telah mendapatkan persetujuan seorang nakhoda untuk menjadi awak kapalnya. namun waktu itu Mandeh tak setuju dengan pilihannya itu. menurutnya lebih baik Malin dirumah dulu. bantu orang tua saja. tak usah berlayar mengikuti tradisi merantau di kampung orang.

Malin tak menurut, ia teguhkan untuk berlayar. Mandeh murka, akhirnya dikutuklah kapal mereka untuk tenggelam. dan benar saja, kutukan Mandeh berlaku. kapal tersebut karam, syukur si malin tidak tenggelam, dia akhirnya bisa berenang ketepian.

"Sudah kubilang, jangan melawan keinginan orangtua" kata Mandeh ke Malin waktu itu.

Dan bertahun setelah sejak itu, Malin hanya memendam-mendam saja keinginannya untuk melakukan apapun. dia tak berani melakukan apa-apa tanpa perintah ibunya. mencintai gadis saja ia tak mau, kalau-kalau itu tak berkenan dengan Mandeh.

"Malin, kalau kau pilih gadis, yang kaya-rayalah kau pilih. jangan mau kau sama yang biasa saja, kau gagah tampah dan cerdas" kata Mandeh. "Ohh... kau tak kenal perempuan ya?" lanjutnya, "Tak apalah, nanti akulah yang carikan buatmu".

Malin hanya diam. dalam hati sebenarnya dia tak ambil pusing

Sampai akhirnya suatu ketika air pasang menyapu perairan di pantai kampung si Malin. semuanya hilang. kapal hilang. orang tak bisa melaut. dan semua ternak tersapu air. kehidupan keluarga Malin makin menyedihkan. akhirnya keluar jugalah titah Mandehnya. Si Malin di suruh merantau ke negeri orang. Biar jadi orang kaya, baru kembali. tak lupa pesan Mandeh juga untuk mencari gadis kaya raya untuk menjadi menantunya.

"Dan setelah itu, ceritanya sama seperti yang kau tahu" kata Mak Karam lagi akhirnya. "si Malin di rantau akhirnya berjaya dan kembali ke kampungnya."

"Dan ia tak mengakui mandehnya, dan Mandehnya mengutuknya jadi batu?" tanyaku balik.

"Oh bukan! Disitulah letak kesalahan ceritanya, si Malin tak pernah tidak mengakui Ibunya." jelas Mak Karam.

"Lalu?"

Si Malin kembali dengan digdaya dan jaya. Malin sangat rindu dengan orangtuanya. karena bagaimanapun Mandeh-nya tetaplah Ibunya. dia sudah jelaskan pula kepada mertua dan istrinya tentang keadaan Ibunya. dan mereka mengerti. dan meluap-luaplah kerinduan Malin pada Mandehnya.

itulah saat, Ketika mereka bertemu untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Malin dengan sumringah berlari-lari dari kapal ke rumahnya. larinya cepat sekali, sudah rindu benar sepertinya. orang yang sudah menunggu di dermaga tak dipedulikannya. dia ingin bertemu mandehnya. hanya itu tujuannya. Namun apa daya, ketika bertemu, betapa sedihnya hati Malin.

Mandeh tidak memeluknya, malah berkata :

"Mewah betul pakaianmu, Malin. sudah kaya kau sekarang. Nah, sekarang mana bagianku?"

tanpa babibu Mandeh malin merogoh kantung pakaian anaknya yang sudah lama tak bertemu itu. Malin tersinggung, ternyata yang dirasakan oleh Mandehnya tak sama dengannya. Ia sedih dengan dalam.

lalu Malin mengeluarkan semua emas yang ia punya, Kalung, cincin, uang dan lainnya. bahkan pakaian dan sepatunya. ketika kejadian itulah orang mulai berdatangan ke rumah itu. Malin terlihat seperti menendang Mandehnya.

lalu Malin berlari keluar dengan hati yang luka, tapi masih sempat terdengar olehnya "Mana yang lain Malin? Ini sajakah penghasilanmu?" teriak Mandehnya dari jauh.

Malin menangis, dan menemui aku sebagai tetua di kampung. Dan menceritakan semuanya. ia percaya padaku karena aku yang tahu yang ia rasakan dari kecil, kata Mak Karam.

Dan sebelum pergi, Malin minta tolong untuk dipahatkan padaku sebuah patung batu. aku bertanya untuk apa, tapi ia tak menjawab. cukup letakkan batu itu esok hari di pantai, katanya.

dalam hitungan jam aku, dan pekerjaku menyelesaikan patung itu. sebuah patung orang tertelungkup bersujud diatas dek kapal. dan kami mendapatkan bayaran yang besar dari Malin waktu itu.

dan benar saja, Malam itu Mandeh berteriak-teriak di kehujanan malam mengutuk Malin menjadi batu. Mandeh tidak tahu kalau Malin belum berangkat, hanya memindahkan kapalnya saja ke teluk bayur. Malin bersamaku waktu itu. Ia menangis melihat Mandeh mengutuk dan bersumpah serapah. Selepas Mandeh pergi, kita bersama meletakkan patung itu disana.

dan Paginya, dini hari, Malin berangkat lagi, kembali ke rantau.

Ibu Malin kulihat pagi hari kepantai, dan menangis melihat patung itu. dia menyesal, tapi sudah tak berguna. Malin sudah kadung terluka, dan karena dia keras kepala, persis ibunya. Ia takkan pernah kembali lagi.

"Dan begitulah cerita sebenarnya", kata Mak Karam.

Aku terdiam, cerita ini sungguh berbeda.

"Jadi Malin bukan anak durhaka?" gumamku pelan.

"Dia anak durhaka" Jawab Mak Karam juga pelan.

"Tapi Mandehnya juga durhaka" lanjutnya

"Dosa? Neraka? Tuhan yang tahu." lanjutku setuju

Minggu, 24 Januari 2010

Mahasiswa untuk Bunda

Masih kuingat jelas malam itu, Bunda telah selesai shalat Isya, kemudian duduk dengan masih mengenakan telakung-nya. Kuhampiri beliau, “Bundaku, suatu saat nanti aku akan jadi mahasiswa” ucapku pelan. Bunda menatapku tersenyum, Sesuai dengan keinginanku. “Kalau begitu belajarlah yang rajin, Bunda akan bangga dan menunggu waktu itu terjadi”. Seketika itu juga aku bersemangat, kucanangkan cita-cita hidupku untuk menjadi mahasiswa. bukan untuk apa-apa, hanya untuk membuat bundaku bahagia.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Siang hari itu, Bu Yan datang kerumah. Layaknya biasa, mencari ibuku, bekas guru anaknya, untuk menumpahkan hatinya. seperti biasa juga, masih dengan sandal jepit dan tas tangan kecilnya. satu hal yang sangat ganjil dan tidak biasanya. Bu Yan datang dengan senyum terkembang sampai menampakkan gerahamnya yang ompong. Dengan kelupaan mengucapkan salam dia melompat masuk ke dalam dan serta merta memelukku. Aku ikut tertawa senang kendati belum tahu ada apa. “Bundamu mana?” tanyanya. Aku menggeleng seraya mengatakan bahwa belum pulang dari sekolahnya. Dia mengangguk, dan bilang dia akan menunggu. tapi tangannya tak henti-henti mengusap-usap kepalaku. Tidak suka dibegitukan, kepala kecilku bergerak-gerak seraya menghindar. Bu Yan makin keras tertawa.

Aku mengenal Bu Yan sudah lama, dia adalah teman ibuku, yang paling suka mengusap-usap kepalaku. biasanya Bu Yan datang ke rumah untuk bercerita kepada Ibuku. banyak macam yang mereka bicarakan. tapi sepertinya semuanya tentang kesedihan. Aku tidak tahu banyak, tapi biasanya tidak jauh dari uang sekolah anaknya, dagangannya yang tak laku, hutangnya yang melilit, dan juga tentang keluarganya. Sering aku melihat Bu Yan menangis didepan bunda. Melihat gelagat seperti itu, biasanya bunda akan segera menyuruhku main keluar. Jadi,.. kalau Bu Yan datang, aku harus segera main keluar. Itulah kenapa aku tak suka Bu Yan, meski aku mengasihinya.

Tapi siang ini Bu Yan tidak seperti itu, Ia masuk bagaikan terbang, tertawa bagaikan tidak ada esok hari, dan mulutnya menganga bagaikan singa. Harusnya... aku harus segera keluar untuk bermain, ada janji bermain bola melawan anak RT sebelah. Tapi niat ini kuurungkan, kuingin tahu perihal alasannya Bu Yan bisa sebegitu senangnya. Untuk mengisi waktu, aku membuka buku. Niatnya mau bikin PR Matematika. Tapi juga urung terlaksana, Bu Yan selalu mengangguku. Dia mengangguku dengan pertanyaan-pertanyaan seperti Bunda masih lama tidak? Sekolah gimana? Masih juara kelas apa tidak? Plus hentakan-hentakan kaki berikut nada gembira yang . Aku pasrah. Akhirnya yang bisa kulakukan sama persis seperti seperti wanita paru baya disebelahku. Duduk menghadap pintu, dengan harapan Bunda segera datang.

Setelah Bunda datang, Bu Yan meledak tangisnya. Bundaku terkejut, tapi tak lama ia tersenyum. Tentu orang dewasa sepertinya bisa melihat tangisnya itu bukan kesedihan. Tapi aku tak suka adegan ini karena terlalu lama, otakku sudah berontak. Aku menatap Bunda tajam seolah ingin menyampaikan pesan “Cepat Bunda, tanyakan ada apa. Cepat Bunda!” Aku tak sabar lagi. Ingin rasanya untuk mengatakan yang terpikir. Tapi aku takut disuruh keluar bermain oleh Bunda, kali ini kuingin tahu ini tentang apa.

Akhirnya saat yang dinanti datang juga. Bunda mengajak Bu Yan duduk. Akan tetapi ternyata jawaban yang kunanti dengan segenap kesebaran itu hal yang biasa. Tidak masuk akal malah. Gugur sudah semua pradugaku, bukan tentang kerbaunya yang tempo hari mau dijual untuk bayar hutang, bukan juga tentang panen cabenya, dan bahkan khayalan terliarku juga tidak. Bu Yan tidak menemukan sepeti uang dolar seperti di film semalam.

Masalahnya sederhana, anak Bu Yan yang paling tua, Bang Nor namanya, namanya masuk Koran. Aku bingung, kemarin juga Bang Iwan namanya masuk Koran, tapi Ibunya malah mencak-mencak karena anaknya ternyata anaknya ikut maling kerbau tempo hari. Penjelasan berikutnya membuatku lebih bingung, Bang Iwan menjadi mahasiswa dan berikutnya harus tinggal di Ibukota provinsi yang letaknya tidak kurang 200 km dari sini. Lah… berpisah dengan anak kok, Bu Yan senang? Dan lagi pula apa itu mahasiswa? Dengan merungut-rungut karena harapanku akan sesuatu yang ‘wah’ tidak tercapai, aku keluar rumah bermain bola. Tapi satu hal yang kutahu pasti, Bu Yan sangat senang Bang Nor menjadi mahasiswa.


Setelah mengaji di Musholla seusai Maghrib, menjelang azan Isya’ aku bertanya kepada ustadzku, Pak Edi namanya, tentang apa itu mahasiswa. Sengaja kubertanya pada beliau karena dia adalah guru idolaku, dan juga suaranya cukup aktif dan didengarkan dalam diskusi-diskusi di Lepau. Jawaban darinya sangat panjang dan sangat lebar. Aku mendengarkan dengan seksama untuk menghormati beliau, tapi ternyata, bagian yang kumengerti hanya bahwa setelah SMA, kita bisa meneruskan ke universitas dan menjadi mahasiswa. Dan untuk itu, diadakan tes ketat. Hanya murid yang pintar yang bisa menjadi mahasiswa.

Aku menjadi mahfum, Bu Yan pasti begitu bangga anaknya murid yang pintar. Aku bertanya juga dalam hati, apakah aku juga bisa menjadi mahasiswa dan membuat Bunda bahagia seperti Bu Yan? “Kamu juga pasti bisa Nak, jadi mahasiswa” ucap Pak Edi lembut seolah mengerti pikiranku. “Belajarlah yang rajin, jadilah anak yang pintar, masa depan negara ini ditanganmu.” Tegasnya dengan sangat bijak. Mendengarnya aku menjadi bersemangat, demi membuat Bunda bahagia aku bercita-cita untuk menjadi mahasiswa. Setelah Isya, malam itu juga, kuutarakan keinginanku pada Bunda


Sekarang, aku ada disini menatap rumah tinggi yang pernah kulihat dulu di brosur ketika SMA. Kemarin aku datang kesini, menyeberang laut dari tanah asalku, dan kemarin juga aku baru bisa melihat langsung gedung-gedung tinggi yang selama ini hanya bisa dilhat di TV. tapi gedung-gedung dan rumah ini terasa tidak penting lagi. Aku hanya bisa terduduk di tangga, lututku terasa lemah dan mataku terasa panas.

Bunda berdiri disebelahku, matanya sembab, baru saja menangis. Tapi Bundaku wanita yang tegar. Beliau tidak pernah menangis sejak Ayah dipanggil Tuhan 7 tahun yang lalu. Paling Bunda hanya menitikkan air mata, tidak menangis, seperti ketika melihat Koran yang kutunjukkan pada Bunda seminggu yang lalu. Bunda meneteskan air mata bahagia, persis seperti Bu Yan dulu, persis seperti yang kucita-citakan dulu. Dan air mata tangisan Bunda baru saja, bukanlah harapanku. Mataku panas memerah, tidak menangis. Aku marah dan kecewa! Bukan ini yang kuinginkan.

Kami baru saja keluar dari ruangan wawancara, beberapa menit yang lalu kami masuk dengan harapan segudang. Kami memakai pakaian terbaik yang kami miliki. Tapi tetap saja, sandal ibuku merasa risih dengan porselen yang licin berkilat, dan celana bahanku merasa rendah diri dengan kursi yang kami duduki. Wawancaranya tidak berjalan lancar. Karena selain kami belum fasih berbahasa Indonesia, kami juga merasa rendah diri dengan bapak berkepala licin dan jarang tersenyum didepan kami. Bunda hanya bisa mengatakan bahwa dia tidak mempunyai suami dan kami tidak mempunyai uang. Dan aku mencoba menjelaskan hal lainnya. Ketika Bapak itu mengatakan kami hanya mendapat penangguhan pembayaran, Bunda meledak tangisnya. Bapak itu juga kebingungan, tapi seperti sudah biasa. “Memang sudah begitu kebijakannya” dia mengucapkan kata pamungkas.

Kami berangkat kesini dengan menjual kambing-kambing peliharan adikku plus pinjaman ibuku. Dengan itu pula aku harus bisa mencari tempat tinggal. Kakakku sekarang sedang berusaha menjualkan sawah peninggalan ayah yang biasanya kami kuli-kan. Dan uangnya mungkin akan membayar penangguhan ini, tapi pasti tidak akan cukup. Sampai saat ini aku belum bisa berpikir bagaimana kedepannya nasibku jika bertahan disini. Tapi mungkin Bunda telah memikirkan lebih jauh dariku.
Aku masih duduk, menatap rumah-rumah tinggi ini. Masih marah dan kecewa. Tidak hanya terhadap Bapak tadi, tapi juga pada diriku sendiri dan Pak Edi. Mungkin Pak Edi lupa menceritakan kepadaku yang masih kecil bahwa untuk menjadi mahasiswa sangat mahal sekali. Dan negara yang dia sebut mengharapkan murid pintar ternyata hanya ingin menerima bersih, buktinya peraturannya seperti tadi. Aku juga kecewa pada diriku sendiri, mangapa waktu itu aku terlalu cepat meninggalkan Bu Yan dan Bundaku. Karena dengan pemahamanku sekarang, aku tahu mereka pasti akan membicarakan keuangan.
Aku menatap Bundaku, beliau menatap lurus, tenang meski masih terisak sesekali. Aku tahu pasti dari romannya dia bahagia bisa mengantarkanku kesini, dan segera setelah ini aku resmi menjadi mahasiswa universitas di seberang laut. Tapi aku maklum akan satu hal, “Membuat Ibu bahagia ternyata sangat mahal”. Aku meneteskan air mata. Entah kebahagiaankah ini karena membuat Bundaku bangga, ataukah kesedihan karena membebani Bunda dengan biaya yang membuatnya menangis. Aku bingung, tapi kali ini tak bisa bertanya.-

Minggu, 03 Januari 2010

Burung Untuk Ning

Ning berjalan mondar mandir. Aku masih mengantuk, tidak cukup kuat untuk membuka mata lebih dari lima detik.

“Aku letih, Ning” jelasku.

“Tapi aku butuh kamu, Mas”

“Butuh berapa?” tukasku.

“Bukan uang, Mas. Aku butuh kamu.”

Setengah bersungut-sungut, kupaksakan diri untuk bangun. Apalah jadinya jika aku tak cinta wanita ini, aku sungguh tak suka waktu istirahatku diganggu seperti ini. Aku bekerja tanpa dibatasi waktu, dan berharap bisa beristirahat tanpa dibatasi waktu pula. Biasanya bisa seperti itu, bisa sampai akhirnya Ning datang ke hidupku.

“Ada apa, Ning?” tanyaku.

“Aku melihat burung, Mas”

“Jangan panggil aku Mas, sudah kubilang kan?, Burung dimana disini, tak ada yang pelihara burung di kompleks sini, Ning”

“Aku lihat di rumah Pak Doni tadi”

“Ha? Pak Doni pelihara burung?”

“Bukan, Mas. Aku lihat burungnya Pak Doni”

“Hah?”

“Besar, Mas”

Kutarik selimut, tanpa babibu lagi kulanjutkan tidurku tadi. Sayup masih kudengar Ning masih berciloteh,

“tapi tak tahu juga kalau itu kecil, Mas. Aku belum lihat yang lain soalnya”

Ning bukan adikku, bukan pula pacarku. Ning hanya pembantuku. Aku pindah ke rumah ini sudah dua tahun. Sebuah rumah yang kubeli setelah mendapatkan bonus besar dari kantor waktu itu setelah berhasil melobi DPR untuk mengucurkan dana untuk sebuah proyek di konsultan tempatku bekerja. Bagiku rumah adalah investasi, investasi keluargaku nanti, investasi juga harus juga dijual lagi.

Untuk itulah aku harus menjaga rumah ini tetap bersih dan terawat. Untuk itulah aku menyewa seorang pembantu yang bisa kupercaya. Yah, namanya Ning. Berumur 20tahunan. Kuambil langsung dari kampungnya, sebuah desa di pelosok selatan Jawa Barat. Kubawa sendiri ke Jakarta, kuajarkan sendiri semua keterampilan untuk mengurus rumah dan lainnya.

Ada baiknya kuceritakan sedikit tentang masa lalu Ning. Ning adalah seorang Janda setengah, manten tak jadi. Ning ketika bertemu dulu adalah seorang gadis yang sejatinya akan menikah segera tapi ditinggalkan begitu saja oleh orang yang akan menikahinya. Ning bermenung setiap hari karena depresi, dan ketika kutawarkan untuk kubawa ke Jakarta, orang tuanya menurut saja. Apalagi ketika kutinggalkan uang beberapa juta rupiah untuk keluarganya.

Perihal burung, Ning menurutku termakan konstruksi orang-orang disekitarnya. Ning berteman dengan orang-orang yang telah menikah di kampungnya. Wanita-wanita yang telah menikah. Ning mungkin satu-satunya yang belum menikah. Jadi pembicaraan antara mereka itu adalah tentang burung, mereka saling membanggakan burung suami masing-masing. Burung suaminya besarlah, lebarlah. Lebih besar dan blab la bla. Ning menjadi sangat ingin untuk melihat burung. Kalau memakai kata-kata Ning, ia ingin melihat “burung untuknya”.

Ning bersabar, dan ketika calon suaminya meninggal dunia, Ning merasa dunia telah hancur. Undangan telah disebar, kawin tak jadi. Sontak ia pembicaraan di kampung. Di Kampung Ning, berat untuk seorang yang telah hampir menikah untuk menikah lagi dalam waktu cepat. Dia sudah dianggap janda bagi masyarakat sekitarnya. Dan dengan begitu, Ning menjadi murung dan merasa “burung untuknya” pun sudah mati bersama calon suaminya itu.

Setelah saat itu, Ning terobsesi dengan burung. Dan pagi itu, Ning pertama kali melihat burung. Burung si Doni, exhibitionist yang sering tanpa sadar keluar rumah tanpa baju.

Hari ini aku akan menikah dengan Ning. Orang tuaku dan orang tuanya sudah hadir disini, di rumahku. Ning bukan lagi orang yang tidak berpendidikan. Ning telah lulus Paket C, setara dengan lulus SMA. Ning juga akan kuliah setelah kita menikah nanti.

Tapi pagi ini, Ning mondar-mandir di depanku. Tapi tak biasanya, aku tak menanyakan, dan Ning pun tak bercerita. Ning berjalan mendekatiku. Lalu duduk bersebelahan.

“Terima kasih Mas,” ujarnya dengan senyum terkembang dan termanis.

Aku hanya tersenyum, aku tak merasa pantas juga untuk mendapatkan terima kasih dari Ning. Tak ada yang perlu di terima kasihkan. Aku mengangkat Ning sebagai pembantu karena aku butuh. Ning menolongku mengurus rumah, dan aku membayarnya dengan gaji yang pantas. Lalu perlahan aku perlahan mulai mencintainya. Bukan sebagai majikan yang memanfaatkan pembantu. Aku tak pernah melecehkannya dan memaksanya. Aku jatuh cinta padanya secara normal. Sebagai wanita seutuhnya. Mungkin memang aku menolongnya dan keluarganya, tapi pada akhirnya aku anggap karena aku sebagai majikan dan sekarang sebagai calon suaminya. Dan nanti sore sudah menjadi suaminya.

“Terimakasih Mas,” ucapnya lagi.

“Untuk apa?”

“Karena menikahiku”

“Loh, Aku cinta kamu, Ning.. terima kasih juga telah mencintaiku” ucapku

“Iya Mas, terima kasih pula telah mencintaiku”

“Akhirnya burung Mas-lah yang menjadi burung untukku”

Aku kaget, menatap wajahnya bulat-bulat. Wajahnya tersenyum masih dengan polos. Jika aku tidak mengenal Ning dengan baik, atau kata itu diucapkan wanita lain, tentu aku akan merasa jijik. Mungkin merasa wanita ini haus seks dan butuh kehangatan lelaki saja.

Tetapi tidak, aku berpikir lain. Setelah selama ini, Ning ternyata tidak pernah terlepas dari konstruksi pemikiran tentang perburungan. Disatu sisi, bahasa yang diucapkan Ning adalah semangat posesif dirinya untukku, dan disisi lain adalah ungkapan kepercayaan. Kepercayaan terhadap institusi pernikahan. Kepercayaan bahwa setelah ini “burungku” hanya untuknya.

Aku tercenung, aku adalah lelaki yang tak pernah memikirkan seks dalam taraf yang banyak. Aku menikmati waktu-waktuku bersama Ning tanpa pernah memikirkan seks sebelumnya. Aku tak bisa mengingat kapan terakhir kali aku menonton film biru. Kapan terakhir kali masturbasi dan lainnya. Aku terlalu sibuk bekerja, bekerja dan bekerja. Dan cukup puas setelah di rumah disambut oleh senyum Ning yang manis.

Memang aku menghabiskan beberapa waktu yang sensotis bersama Ning. Tapi tak pernah berpikiran seks. Aku pernah dipijit hanya mengenakan celana dalam saja oleh Ning. Aku memergoki dia melihat-lihat ke arah “burungku” tapi toh aku tak memiliki keinginan dan nafsu untuk menodainya. Aku anggap itu sebagai bentuk obsesinya kepada burung. Tapi kuyakin obsesi hanya pada satu burung. Yaitu “burung untuknya” itu.

Kemudian aku mengangguk kepada Ning, “Iya, burungku memang untuk Ning” ucapku.

Ning senang sekali, ia mendekapku erat-erat. Aku hanya tersenyum.

Malapetaka itu datang. Aku gagal di malam pertama. Burungku tidak perkasa. Aku malu.

Keesokan harinya, dokter mengatakan aku mengalami impotensi karena pola hidup yang tidak sehat. Banyak merokok dan lainnya. Dibutuhkan terapi dalam jangka waktu yang lama.

Aku pulang dan langsung bicara pada Ning.

“Ning, burungku bermasalah”

“Kenapa Mas?”

“Burungku sementara ini tak akan bisa berdiri, aku impoten!” jelasku.

Ning terdiam.

“Memangnya burung bisa berdiri?”

Kaget aku menatap Ning. Muka polosnya menggerenyit dengan rasa ingin tahu yang tinggi.

Aku tertawa.

---------------------------------------------------------------