RSS

Minggu, 03 Januari 2010

Burung Untuk Ning

Ning berjalan mondar mandir. Aku masih mengantuk, tidak cukup kuat untuk membuka mata lebih dari lima detik.

“Aku letih, Ning” jelasku.

“Tapi aku butuh kamu, Mas”

“Butuh berapa?” tukasku.

“Bukan uang, Mas. Aku butuh kamu.”

Setengah bersungut-sungut, kupaksakan diri untuk bangun. Apalah jadinya jika aku tak cinta wanita ini, aku sungguh tak suka waktu istirahatku diganggu seperti ini. Aku bekerja tanpa dibatasi waktu, dan berharap bisa beristirahat tanpa dibatasi waktu pula. Biasanya bisa seperti itu, bisa sampai akhirnya Ning datang ke hidupku.

“Ada apa, Ning?” tanyaku.

“Aku melihat burung, Mas”

“Jangan panggil aku Mas, sudah kubilang kan?, Burung dimana disini, tak ada yang pelihara burung di kompleks sini, Ning”

“Aku lihat di rumah Pak Doni tadi”

“Ha? Pak Doni pelihara burung?”

“Bukan, Mas. Aku lihat burungnya Pak Doni”

“Hah?”

“Besar, Mas”

Kutarik selimut, tanpa babibu lagi kulanjutkan tidurku tadi. Sayup masih kudengar Ning masih berciloteh,

“tapi tak tahu juga kalau itu kecil, Mas. Aku belum lihat yang lain soalnya”

Ning bukan adikku, bukan pula pacarku. Ning hanya pembantuku. Aku pindah ke rumah ini sudah dua tahun. Sebuah rumah yang kubeli setelah mendapatkan bonus besar dari kantor waktu itu setelah berhasil melobi DPR untuk mengucurkan dana untuk sebuah proyek di konsultan tempatku bekerja. Bagiku rumah adalah investasi, investasi keluargaku nanti, investasi juga harus juga dijual lagi.

Untuk itulah aku harus menjaga rumah ini tetap bersih dan terawat. Untuk itulah aku menyewa seorang pembantu yang bisa kupercaya. Yah, namanya Ning. Berumur 20tahunan. Kuambil langsung dari kampungnya, sebuah desa di pelosok selatan Jawa Barat. Kubawa sendiri ke Jakarta, kuajarkan sendiri semua keterampilan untuk mengurus rumah dan lainnya.

Ada baiknya kuceritakan sedikit tentang masa lalu Ning. Ning adalah seorang Janda setengah, manten tak jadi. Ning ketika bertemu dulu adalah seorang gadis yang sejatinya akan menikah segera tapi ditinggalkan begitu saja oleh orang yang akan menikahinya. Ning bermenung setiap hari karena depresi, dan ketika kutawarkan untuk kubawa ke Jakarta, orang tuanya menurut saja. Apalagi ketika kutinggalkan uang beberapa juta rupiah untuk keluarganya.

Perihal burung, Ning menurutku termakan konstruksi orang-orang disekitarnya. Ning berteman dengan orang-orang yang telah menikah di kampungnya. Wanita-wanita yang telah menikah. Ning mungkin satu-satunya yang belum menikah. Jadi pembicaraan antara mereka itu adalah tentang burung, mereka saling membanggakan burung suami masing-masing. Burung suaminya besarlah, lebarlah. Lebih besar dan blab la bla. Ning menjadi sangat ingin untuk melihat burung. Kalau memakai kata-kata Ning, ia ingin melihat “burung untuknya”.

Ning bersabar, dan ketika calon suaminya meninggal dunia, Ning merasa dunia telah hancur. Undangan telah disebar, kawin tak jadi. Sontak ia pembicaraan di kampung. Di Kampung Ning, berat untuk seorang yang telah hampir menikah untuk menikah lagi dalam waktu cepat. Dia sudah dianggap janda bagi masyarakat sekitarnya. Dan dengan begitu, Ning menjadi murung dan merasa “burung untuknya” pun sudah mati bersama calon suaminya itu.

Setelah saat itu, Ning terobsesi dengan burung. Dan pagi itu, Ning pertama kali melihat burung. Burung si Doni, exhibitionist yang sering tanpa sadar keluar rumah tanpa baju.

Hari ini aku akan menikah dengan Ning. Orang tuaku dan orang tuanya sudah hadir disini, di rumahku. Ning bukan lagi orang yang tidak berpendidikan. Ning telah lulus Paket C, setara dengan lulus SMA. Ning juga akan kuliah setelah kita menikah nanti.

Tapi pagi ini, Ning mondar-mandir di depanku. Tapi tak biasanya, aku tak menanyakan, dan Ning pun tak bercerita. Ning berjalan mendekatiku. Lalu duduk bersebelahan.

“Terima kasih Mas,” ujarnya dengan senyum terkembang dan termanis.

Aku hanya tersenyum, aku tak merasa pantas juga untuk mendapatkan terima kasih dari Ning. Tak ada yang perlu di terima kasihkan. Aku mengangkat Ning sebagai pembantu karena aku butuh. Ning menolongku mengurus rumah, dan aku membayarnya dengan gaji yang pantas. Lalu perlahan aku perlahan mulai mencintainya. Bukan sebagai majikan yang memanfaatkan pembantu. Aku tak pernah melecehkannya dan memaksanya. Aku jatuh cinta padanya secara normal. Sebagai wanita seutuhnya. Mungkin memang aku menolongnya dan keluarganya, tapi pada akhirnya aku anggap karena aku sebagai majikan dan sekarang sebagai calon suaminya. Dan nanti sore sudah menjadi suaminya.

“Terimakasih Mas,” ucapnya lagi.

“Untuk apa?”

“Karena menikahiku”

“Loh, Aku cinta kamu, Ning.. terima kasih juga telah mencintaiku” ucapku

“Iya Mas, terima kasih pula telah mencintaiku”

“Akhirnya burung Mas-lah yang menjadi burung untukku”

Aku kaget, menatap wajahnya bulat-bulat. Wajahnya tersenyum masih dengan polos. Jika aku tidak mengenal Ning dengan baik, atau kata itu diucapkan wanita lain, tentu aku akan merasa jijik. Mungkin merasa wanita ini haus seks dan butuh kehangatan lelaki saja.

Tetapi tidak, aku berpikir lain. Setelah selama ini, Ning ternyata tidak pernah terlepas dari konstruksi pemikiran tentang perburungan. Disatu sisi, bahasa yang diucapkan Ning adalah semangat posesif dirinya untukku, dan disisi lain adalah ungkapan kepercayaan. Kepercayaan terhadap institusi pernikahan. Kepercayaan bahwa setelah ini “burungku” hanya untuknya.

Aku tercenung, aku adalah lelaki yang tak pernah memikirkan seks dalam taraf yang banyak. Aku menikmati waktu-waktuku bersama Ning tanpa pernah memikirkan seks sebelumnya. Aku tak bisa mengingat kapan terakhir kali aku menonton film biru. Kapan terakhir kali masturbasi dan lainnya. Aku terlalu sibuk bekerja, bekerja dan bekerja. Dan cukup puas setelah di rumah disambut oleh senyum Ning yang manis.

Memang aku menghabiskan beberapa waktu yang sensotis bersama Ning. Tapi tak pernah berpikiran seks. Aku pernah dipijit hanya mengenakan celana dalam saja oleh Ning. Aku memergoki dia melihat-lihat ke arah “burungku” tapi toh aku tak memiliki keinginan dan nafsu untuk menodainya. Aku anggap itu sebagai bentuk obsesinya kepada burung. Tapi kuyakin obsesi hanya pada satu burung. Yaitu “burung untuknya” itu.

Kemudian aku mengangguk kepada Ning, “Iya, burungku memang untuk Ning” ucapku.

Ning senang sekali, ia mendekapku erat-erat. Aku hanya tersenyum.

Malapetaka itu datang. Aku gagal di malam pertama. Burungku tidak perkasa. Aku malu.

Keesokan harinya, dokter mengatakan aku mengalami impotensi karena pola hidup yang tidak sehat. Banyak merokok dan lainnya. Dibutuhkan terapi dalam jangka waktu yang lama.

Aku pulang dan langsung bicara pada Ning.

“Ning, burungku bermasalah”

“Kenapa Mas?”

“Burungku sementara ini tak akan bisa berdiri, aku impoten!” jelasku.

Ning terdiam.

“Memangnya burung bisa berdiri?”

Kaget aku menatap Ning. Muka polosnya menggerenyit dengan rasa ingin tahu yang tinggi.

Aku tertawa.

---------------------------------------------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar